Rabu, 15 Februari 2012

SENIMAN Dan PERIHAL BERKESENIAN

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hassan pernah menyatakan, bahwa kehidupan kesenian ibarat anak yatim yang harus mekar atas perkembangannya sendiri. Padahal kesenian Indonesia yang berciri kebhinekaan ini mengandung kekayaan yang tiada taranya.

Dengan jumlah penduduk yang begitu besar dan terdiri dari banyak suku, Indonesia memang kaya akan jenis dan bentuk-bentuk kesenian. Namun sayangnya, hanya b eberapa jenis kesenian yang terangkat dan mampu mengangjkat nama Indonesia di kancah kesenian dunia. Padahal, jika kita bersungguh-sungguh untuk memajukan kesenian, negara kita akan sejajar dengan negara lainnya yang harum namanya di bidang kesenian.
Ketidaksungguhan kita mengakibatkan kerugian besar. Banyak bentuk kesenian yang kini hanya tinggal nama. Punah digerus arus modernisasi dan sejumlah bentuk kesenian lainnya bisa mengalami nasib yang sama. Ditambah lagi getolnya negara lain seenaknya mencaplok dan menjadikan hasil kesenian kita sebagai kesenian mereka. Ketidaksungguhan kita dikarenakan tidakadanya upaya optimal dalam hal pelestarian kesenian tersebut. Sejumlah pelaku kesenian kita telah memasuki usia sepuh dan tinggal nama. Sementara generasi muda sebagai penerus tidak sungguh-sungguh mewarisi. Inilah sisi muram berkesenian kita.
Kemajuan teknologi yang pesat justru memiliki sisi negativ terhadap keberadaan dan perkembangan kesenian (tradisional). Dan sesungguhnya negara lain juga merasakan hal sama. Kesenian tradisi di hampir seluruh negara di dunia mengalami degradasi, akibat ketidakmampuan mengantisipasi kemajuan teknologi. Dan tampaknya, kemajuan teknologi justru “menyeret” para seniman ke pusaran arus budaya industri.
Pada saat ini hal-hal bersifat materi menjadi pesoalan dan tuntutan dalam kehidupan. Hal-hal yang bersifat rohaniah kian ditinggalkan. Bentuk kesenian yang dikonsumsi masyarakat adalah seni sebagai alat dan pelengkap, hiasan atau renda kehidupan. Bukan seni mempertanyakan kehidupan itu sendiri. Otak manusia bagai tak henti letih, akibat direcoki persoalan mengejar materi. Akibatnya, manusia hilang peduli dan antipati terhadap kesenian yang menuntut pemikiran serius dalam memahami.
Maka jadilah bentuk kesenian sebagai sekedar hiburan. Seni canda atau gurauan jadi komoditi laris manis. Sementara seniman yang merasa “senin-kemis” dalam berkesenian, mau tidak mau harus menuruti tuntutan publik. Jika seorang seniman menghasilkan produk seni yang laris di pasaran, maka seniman lainnya justru tergoda menghasilkan karya sejenis.
Salahkah? Tampaknya kondisi demikian tidaklah mesti menjurus pada konteks salah atau tidak. Perlu pemikiran memahami hal ini. Para seniman mesti memiliki arah pandangan menentukan dalam menentukan kebijakan berkesenian. Andai hasil seni ibarat kaki hendak melangkah, si-seniman harus tau pasti menjalankan langkah-langkah. Kaki yang terangkat berarti si-seniman telah siap melepaskan karyanya untuk dinikmati dan dimiliki masyarakat; sementara kaki yang satu lagi berarti si-seniman tetap kokoh berpijak pada nilai-nilai seni sesungguhnya.
Seni sesungguhnya adalah seni sejati. Seni yang tak lekang dan lapuk di hati penikmat. Seni sejati bukan seni sesaat sekedar pemuas penikmat, namun kemudian dilupakan setelah bosan. Masih adakah seni sejati?
Seni sejati tak pernah selesai; tidak akan mati. Seni sejati selalu hidup di hati penikmat seni. Pada dasarnya penikmat seni sejati adalah seniman jua. Apresiasi mereka terhadap seni begitu tinggi. Didukung pengetahuan dan berbagai referensi. Sudah tentu para penikmat seni sejati berasal dari kalangan intelektual yang mapan dari segi ekonomi. Dan sebagian besar dari mereka adalah kalangan muda.
Dunia kesenian kian hidup dan gairah berkesenian para seniman begitu tinggi. Para intelektual muda penikmat seni merupakan konsumen berdaya beli tinggi. Betah berlama menikmati karya seni dan berdialog dengan senimannya. Bagaimana di sini?
Konsumen seni sejati Indonesia belum begitu tampak. Para intelektual muda yang menyenangi sebenarnya cukup banyak. Sayangnya sebagian besar belum mapan dari segi ekonomi. Mereka pun masih memilih tempat seni yang akan dikunjungi.
Kehidupan kesenian masih ibarat yatim yang harus mekar atas perkembangannya sendiri. Artinya, dunia kesenian, termasuk senimannya, harus mampu tumbuh-kembang dalam kemandirian. Tidak tergantung terus pada subsidi pemerintah, maupun sponsor yan g tidak jarang justru memasung kreatifitas senimannya. Subsidi pemerintah seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan seniman, termasuk keluarganya. Sehingga dalam berkesenian mereka tidak terus-menerus direcoki bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adalah hal yang wajar, seandainya mereka menerima tunjangan hidup di usia tuanya. Adakah hal itu telah direalisasi? Jangan sekedar pagu hati berbau seremoni.
Seorang seniman sejati bisa jadi tidak menuntut hak untuk dihargai. Sebaliknya publiklah yang menghargai. Menghargai mahakarya seninya, maupun dedikasinya. Penghargaan yang tinggi terhadap karya seni akan lebih menyemangati pekerja seni untuk mencipta karya seni bernilai. Semoga dunia kesenian kita bergairah kembali.(M.Yunus Rangkuti)

Tidak ada komentar: