Senin, 14 Mei 2012

DIARY KEMATIAN

Cerpen Hasudungan Rudy Yanto Sitohang pada 13 Mei 2012 pukul 23:58 · Ketika desau angin meluruhkan ranting-ranting kering ke tanah, menyisir tumbuhan yang menyemak liar, aku tetap berdiam dalam rintihan jiwa. Seperti daun-daun kamboja berguguran di antara makam-makam terbentang bisu. Tak berdaya menahan kepungan mentari pagi dan geliat suara langit memekakkan hati. Meliuk diam-diam di antara kebohongan yang tersimpan rapi. Meskipun aku mampu menahan bara hingga kini, itu karena api yang menyala di dada belum sampai membakar habis hormatku padanya. Dengan sekuat tenaga, kujaga nyalanya supaya tidak berkobar-kobar menjadi raksasa api. Ya, pagi ini aku dan Ibu berziarah ke makam ayah. Kebiasaan yang kami lakukan dua tahun belakangan, setiap dua bulan sekali. Menaburkan mawar merah ke atas pusara ayah, yang Ibu petik sendiri dari kebun belakang rumah. Bunga-bunga yang beraroma busuk. “Jangan kotori pusara itu, Bu!” batinku teriak marah. Di hadapan lelaki yang kini terbaring abadi di bawah gundukan tanah itu-yang pernah mencintainya setulus hati-kedua tangan Ibu begitu cekatan mencabuti rumput-rumput liar. Puihh…! Sungguh tak layak Ibu melakukan itu! Noda-noda hitam itu tak akan terhapus sebelum Ibu berucap ampun di kaki pusara ayah! Sambil berjongkok, aku membersihkan sampah dan kotoran di celah gundukan batu-batu yang bersusun rapi. Meskipun debu-debu yang melekat begitu sulit kubersihkan. Andai Ibu tahu, bahwa hal ini kulakukan sekadar untuk menutupi rasa gundah dan amarahku yang membakar belakangan. Sudahlah, Bu, jangan berpura-pura padaku! Begitulah, tanpa Ibu sadari ternyata aku telah masuk ke dalam bayang-bayang masa lalunya ketika membaca lembar demi lembar kisah cintanya dalam diary hitam itu. Tanpa sengaja, aku menemukannya di antara tumpukan buku-buku tua dan majalah bekas di gudang belakang. Ketika membaca halaman pertama, aku langsung tersentak. Ini adalah mimpi buruk. Apa yang kupikirkan tentang Ibu, perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan aku hingga menikah dengan lelaki yang kucintai itu, sekarang berbalik. Aku marah! Aku kecewa! Ibu ternyata tak lebih dari perempuan jalang yang merayap di kesunyian malam di jalan-jalan kota. Terhapus sudah rasa kagumku padanya. Padahal dengan mata hati, kusaksikan bagaimana Ibu merawat ayah dengan sabar selama sepuluh tahun terakhir akibat kecelakaan di tempatnya bekerja. Sebilah besi panjang jatuh dari tiang penahan jembatan menimpa ayah hingga membuat separuh tubuhnya lumpuh tanpa daya. Ah, tak seorangpun percaya bahwa Ibu, perempuan yang setia menemani ayah seharian di beranda depan, yang memandikannya setiap pagi dan sore, serta menyuapinya makan, ternyata bermain api dengan membagi cintanya pada bajingan itu. “Kamu melamun lagi, Nisa?” Ibu membuatku kaget. Kupaksakan wajahku membalas pandangan matanya, menyembunyikan segala tanya yang melintas di kepala. “Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak melamun.” Wajah Ibu penuh gurat-gurat api. Wajah penuh duri yang mencuat tajam, menyakitkan siapapun yang terkena ujungnya. Aku menunduk gelisah sambil mengelus-elus nisan itu. Kucoba mengirimkan ketenangan untuk mendinginkan hati ayah yang barangkali juga terbakar di bawah sana, dari tidur abadinya. “Sudah selesai. Mari berdoa untuk ayahmu,” ucap Ibu bangkit berdiri. Embusan angin di pekuburan ini semakin lama semakin kencang, menyisakan riak-riak yang kurasa tak mampu menahan lahirnya tunas-tunas dendam di hatiku. Amarah yang tumbuh untuk membunuh bajingan itu. *** Handoko! Nama bajingan itu selalu menggangguku tanpa kutahu seperti apa sosoknya? Apa istimewanya dia sehingga namanya tetap tumbuh mekar di hati Ibu. Dan begitu hebatkah lelaki itu sampai-sampai Ibu tak mampu menghapus cintanya pada bajingan itu, bahkan saat ayah sudah berada di alam baka? Bersama pendar lampu meja hias kamarku berwarna oranye, setiap untaian kata dalam lembar demi lembar diary itu kubaca perlahan dan hati-hati. Kucoba mencari rahasia dari kebohongan yang ditutupi selaput waktu. O…sungguh pandai Ibu menyembunyikan kebusukan di dalam ceruk hatinya. Luar biasa! Perempuan sederhana yang pendiam itu, ternyata mampu menyimpan bangkai yang pada akhirnya menguap ke permukaan. Cinta. Kata-kata itu teruntai bermakna dalam cerita panjang lewat goresan indah di setiap lembarannya. Remuk redam tubuhku memahami ungkapan perasan ibu yang terang benderang menyiratkan kerinduan pada bajingan itu. Setiap halaman tertulis sajak-sajak penuh gairah dan letupan asmara. Ibu layaknya pujangga kesepian, mengharap kekasihnya kembali mengisi hatinya yang kering kerontang bertahun-tahun lamanya. Kini kebencianku pada Ibu terbentang lebar. Segudang tanya menyergapku, melahirkan dendam yang harus kuselesaikan sendiri. Kehormatan ayah harus dikembalikan. Martabat keluarga harus kusucikan kembali. Aku tak perlu larut bertanya-tanya mengapa hal ini terjadi. Segala rencana harus kupersiapkan matang, kusimpan rapat-rapat sambil menantikan waktu yang tepat menghujamkan belati ke tubuh bajingan itu. Ingin kunikmati jeritannya setiap kali belati ini menembus jantungnya. *** Tapi ke manakah akan kucari bajingan itu? Tak sebuah foto atau alamat pun yang kutemukan. Berulangkali kubolak-balik diary itu mencari jejaknya. Tetap saja tak ada. Aku seperti memegang debu di langit kelabu. Aku semakin putus asa. Ibu memang tak sesederhana yang kuduga. Ia ternyata pintar menyembunyikan keberadaan Handoko. Di mana kau, bajingan? Jangan bersembunyi lewat sajak-sajak dan puisi busuk itu! Tunjukkan dirimu! Mungkin Handoko hanyalah seorang penyair lusuh, penulis roman picisan atau pemain sandiwara yang hidupnya tak karuan. Hanya namanya yang kutahu, dan umurnya yang mungkin kurang lebih sama dengan ibu. Berbekal petunjuk tak seberapa itu, kucari bajingan itu penuh dendam berkobar-kobar. Dendam seorang gadis untuk menegakkan tabut cinta sang ayah. Kutelusuri taman budaya tempat para seniman berkumpul, kujalani gedung-gedung pertunjukan di kota ini, siapa tahu aku mendapatkan dirinya sedang berada di atas panggung memainkan lakon cinta yang buruk. Kutanyakan juga namanya pada perempuan-perempuan jalang di pinggir pekuburan jalan Gajah Mada dan lokalisasi Gagak Hitam. Mungkin salah satu dari mereka pernah menghabiskan malam penuh cumbuan liar yang menjijikkan bersama Handoko. Lelaki kesepian memang membutuhkan belaian cinta, bukan sekadar ungkapan kata-kata. Bajingan sejati tak mungkin hidup semata-mata hanya dengan cinta. Kini malam semakin merangkak meninggalkan senja jauh di belakang. Lampu-lampu temaram menerangi langkahku menyusuri sudut-sudut maupun lorong kota yang sepi. Gedung-gedung tinggi tegak membisu. Di seberang bundaran air mancur, sebuah warung kopi dadakan penuh lelaki malam menatapku dengan senyum mesum dan pandangan berahi ketika aku melintas di depan mereka. Kupegang erat tas kecilku. Sebilah belati masih terasa dingin di sana, sedingin kedua kaki yang membawaku pulang. Kutinggalkan jejak-jejak penasaran agar esok dan esoknya lagi, aku terus menapak ke empat penjuru angin, di mana bajingan itu berkeliaran seperti anjing malam. “Dari mana kamu sampai tengah malam begini baru pulang, Nisa? Agus sampai gelisah menunggumu sejak sore tadi.” Ibu menegurku ketika melewati ruang tengah. Aku mendengus tak karuan. Seketika rasa benciku keluar. Kutatap mata Ibu yang menyorot tajam. Mata yang gelisah. Mata penuh curiga. “Apa itu penting bagi Ibu!” “Ibu hanya bertanya. Ibu khawatir kamu kena apa-apa di luar. ” “Kalau begitu Ibu tak usah bertanya!” “Nisa…!” suara Ibu tertahan, “Sudah demikian jauhkah dirimu? Ibu tak mengerti kenapa akhir-akhir ini kamu terlihat berubah.” Dada Ibu naik turun menahan emosi. “Berubah? Apa Ibu pikir aku sama seperti jalang berdiri kesepian di jalan yang bersetia menunggu para lelaki sialan jatuh ke dalam pelukannya? Tuduhan Ibu sungguh kejam!” Mataku menatap tajam padanya. “Ibu tidak menuduhmu.” “Tak pantas Ibu bicara seperti itu. Harusnya Ibu bertanya pada hati yang suci, bukan masa lalumu penuh busuk itu.” “Nisa…!” Ibu terperanjat. Kaget. Tak kuhiraukan panggilannya. Aku masuk ke dalam kamarku sambil menutup pintu dengan keras. Di atas ranjang, kulihat Agus terlelap tidur, tubuhnya meringkuk di bawah selimut. Kuraba pelan belati di dalam tasku. Masih terasa dingin. Tubuhku bergetar ketika melihat wajahnya berubah seperti lelaki tua dalam pikiranku. *** Tak ada malam yang mendatangkan sial selain malam ini. Ibu meneleponku barusan. Ia mengatakan bahwa dirinya benar-benar sayang padaku. Ia takut kehilangan perempuan permata hatinya. Puihh! Aku bukan gadis kecil yang bisa dibuai dengan dongeng-dongeng bodoh. Bukankah kami sama-sama perempuan dewasa yang diberi anugerah untuk berbicara dari hati ke hati? Tak perlu kata-kata memesona. Tak perlu sajak-sajak itu lagi. Andai Ibu tahu bahwa kesucian cinta pantang dinodai dengan kebohongan. Andai Ibu ingat bagaimana dulu ia mengajarkan arti kesucian kepadaku, agar aku selamat dari lendir-lendir hitam berbau busuk, dari lelaki serupa iblis di lorong kegelapan. Lalu lalang mobil di depan kurasakan seperti bayangan iblis menyeringai tajam. O…tiba-tiba dari mobil-mobil itu keluar sosok menyerupai lelaki tua yang selama ini tercipta dalam pikiranku. Begitu banyak jumlahnya, wajahnya pun persis sama. Mereka tertawa keras sekali. Dadaku berdegup kencang. Aku segera berlari menerobos bayangan-bayangan itu, melewati orang-orang yang menatapku aneh. Aku ingin segera bebas dari pikiran yang membelengguku. Setibanya di rumah, aku tak mendapati ibu yang biasanya menungguku pulang. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Saat masuk, tiba-tiba kulihat lantai kamar penuh ceceran darah. Mataku membeliak, suaraku tercekik di tenggorokan menyaksikan Agus, suamiku itu, meregang nyawa di atas ranjang. Kedua tangannya memegang leher yang terus mengucurkan darah. Badannya bergerak-gerak tak karuan. Matanya mendelik. Lidahnya terjulur keluar. Di sampingnya kulihat Ibu duduk tenang di pinggir ranjang. Di tangan kirinya tergenggam sebilah belati yang masih meneteskan darah. Dan kulihat sebuah diary hitam tergeletak di pangkuannya. Diary itu adalah milikku. Perlahan aku berjalan menuju buku diaryku itu. Aku masih ingat lembar terakhir yang kutuliskan di sana. Curahan jiwaku ketika memergoki Agus selingkuh dengan teman sekantornya. Kutatap wajah Ibu yang penuh percikan darah. Dari matanya terpancar rona kepuasan setelah menikmati jeritan lelaki malang itu. Medan, Maret 2012