Selasa, 21 Februari 2012

Cerpen: WAKTU

Aula tersebut masih penuh dan riuh saat kutinggalkan, sebab sejumlah acara pada Pentas Seni Siswa masih akan digelar. Arloji di tanganku menunjukkan waktu pukul duapuluhdua kurang tiga menit. Sepasang panitia mengantarku hingga ke parkiran. Yang gadis menyodorkan amplop seraya menyampaikan rasa terimakasih mereka atas kesediaanku sebagai pengisi acara. Aku mengangguk seraya menyelipkan amplop tersebut ke saku jaket, menyalami keduanya dan segera berlalu.
Di kamar, segera saja kurebahkan tubuh. Aku merasa keletihan yang sangat. Pembacaan sejumlah puisi dan dilanjutkan dialog interaktif seputar dunia puisi yang memakan waktu dua jam lebih, benar-benar menguras stamina. Ternyata mereka sedemikian antusias. Ini membuatku dilingkupi haru bahagia. Antusias yang kian langka di tengah tawaran dunia lain yang lebih menarik. Dunia yang jauh lebih menggiurkan dan menguntungkan. Aku pun merasa lega mendapatkan respon jujur mereka, manakala usai satu per satu puisi yang kubacakan. Padahal aku tau mereka masih kesulitan menangkap makna tersirat di puisi-puisi tersebut. Ini terlihat dari sejumlah pertanyaan yang mereka lontarkan. Toh bagiku itu tidaklah harus terlalu dipersoalkan. Untuk taraf awal yang utama adalah mereka punya respon dan perhatian. Itu saja!
Keletihan yang kurasa secara perlahan menghantarku larut di hening malam. Secara perlahan pula benda-benda di dalam kamar mengecil dari tatapanku. Rasa kantuk sedemikian memeluk. Hanya sekali dua menguap, semua isi kamar lesap dari tatap. Alam bawah sadar kumasuki.
***
Suasana malam benar-benar hening sepi. Udara semakin dingin. Aku merasakan suasana berbeda dari malam-malam sebelumnya. Akupun mencium aroma yang selama ini belum pernah kurasakan. Aroma yang serasa menghantarku ke alam berbeda. Alam dengan suasana serasa sebegitu religius. Hingga sesaat kemudian, aku mendengar sapaan salam, “Assalamu ‘alaikum.”
Aku menoleh ke arah suara. Kulihat sosok dalam busana serba putih sebegitu suci telah berada di hadapanku. Aku sedemikian terpana.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullah, ya Hamid.” Sosok berbusana serba putih sebegitu suci itu kembali mengulang salamnya. Aku tidak tau apakah dia juga manusia seperti diriku.
“Waalaikum salam warahmatullah. Siapakah engkau?”
“Aku utusan Yang Mahaagung, ya Hamid.”
“Utusan Yang Mahaagung? Aku… aku tidak mengerti…”
“Ya. Aku utusan yang akan hadir pada sesorang dan setiap mahluk bernyawa lainnya yang telah ditentukan waktunya.”
“Aku… aku semakin tidak mengerti, hai utusan Yang Mahaagung.”
Tiba-tiba saja sosok berbusana serba putih serasa sebegitu suci semakin dekat, sehingga kami nyaris bersintuhan.
“Aku Izrail. Malaikat yang bertugas mencabut nyawamu, karena sesaat lagi waktumu kan tiba.”
Aku terkesiap dan sedemikian ketakutan. Sosok malaikat kini terlah hadir siap untuk menunaikan tugasnya. Dan itu berarti kematianku. Aku ingin menghindar, karena belum siap untuk itu. Aku tak mampu. Aku merasa sedemikian letih. Aku mulai mengeluh, mengapa waktuku sebegitu singkat? Aku masih muda. Usiaku setahun lagi genap tigapuluh. Tubuhku masih sehat. Ah, mengapa waktu kematian harus datang lebih dahulu padaku? Mengapa tidak pada si Mbah yang telah sekian waktu terbaring bersama sejumlah komplikasi penyakit. Mengapa tidak pada si “mata keranjang” tetangga sebelah rumah yang masih senang mengganggu gadis dan janda, padahal telah berbini tiga. Atau mengapa tidak pada mereka yang hampir separuh usianya selalu menebar tindak kejahatan.
Aku sebegitu sedih harus meninggalkan segalanya. Segala yang kulihat, kualami dan kurasa selama hidup yang ternyata hanya sesaat saja. Segala hal yang menjadi bahan perenungan dan ekspresi bathin. Segala hal yang menggairahkan imaji. Yang berkali kuuntai menjadi bait-bait puisi. Orang-orangpun menyebutku si-Penyair, meski aku merasa belum pantas menyandang gelar tersebut. Nyatanya banyak yang memintaku mengisi acara, walau terbatas pada kalangan muda.
Dan kini aku akan meninggalkan mereka. Meninggalkan dunia yang kugeluti. Meninggalkan segalanya. Apakah kelak mereka merasakan kehilangan? Entahlah! Di satu waktu, aku pernah berjanji pada mereka akan melahirkan satu kumpulan puisi. Apakah mereka masih ingat dengan janjiku itu? Yang jelas aku tengah mempersiapkan sejumlah puisi demi memenuhi janji tersebut. Sudah ada 29 puisi, hanya tinggal 1 puisi lagi. Untuk puisi yang satu ini aku sedikit kesulitan mendapatkan bahan perenungan yang sesuai. Puisi ini kumaksud sebagai puisi penutup. Penutup dari kumpulan puisi yang akan kuberi judul: Lalu Waktu Berlalu beku.
Aku sesunggukan membayangkan semuanya. Kutatap sosok berbusana serba putih sebegitu suci. “Ya Malaikat utusan Yang mahaagung, berilah aku waktu lebih lama lagi. Aku benar-benar belum siap untuk suatu kematian. Aku masih memiliki utang, karena janji yang belum mampu kupenuhi. Aku berupaya memenuhi janji itu, maka berilah aku sejenak waktu.”
“Tidak bisa ya Hamid. Segalanya telah ditentukan dan tidak bisa diubah lagi. Ini adalah takdirmu. Bersiaplah ya Hamid, karena sesaat lagi waktumu akan tiba.”
Aku menggigil mendengar dan membayangkannya. “Ya Malaikat utusan Yang Mahaagung, sebelum waktuku tiba, sebelum engkau memenuhi tugas mencabut nyawaku, satu permintaanku…”
“Sebutkanlah ya Hamid!”
“Beri aku waktu untuk menulis puisi akhir. Aku harus memenuhi janji. Aku tidak ingi mati dalam keadaan berutang.”
“Bagaimanapun, soal waktu tidak bisa ditawar lagi ya Hamid. Sesuai wahyu, selesai azan shubuh perintah tersebut harus segera kulaksanakan.”
Sayup-sayup aku mendengar lantun ayat suci mengalun.
“Karena masih tersedia waktu untukmu, segeralah penuhi janjimu.”
Bagai dituntun sesuatu, atau justru ketakutan mati dalam keadaan berutang, aku segera bangkit. Kuraih buku dari laci meja. Telah duapuluh Sembilan puisi tertulis di situ. Hanya satu halaman lagi tersisa. Segera kugoreskan pena menuliskan untaian kata dalam bait-bait puisi:
WAKTU
bila saatnya tiba kita berpisah
tidak ada yang perlu ditangisi. biarlah
biarkan aku melayang menembus awan awan
menuju alam pesemayaman jiwa. Sementara
kau terbaring berselimut bumi berbalut sepi
kelak tiba saatnya,
kupenuhi dirimu kembali
kita tersenyum bersama selamanya

Satu persatu bulir air mataku menetes bergulir membasahi halaman akhir. Untaian kata-kata dalam bait-bait puisi penutup, berkali kuulangi membacanya. Keharuan sebegitu menyergap kedalaman hati. Mataku memejam dalam-dalam.
Lamat-lamat azan shubuh sampai ke telingaku . Semakin jelas terdengar. Aku tersentak menyadari suasana. Secara perlahan segalanya kembali menjadi nyata dalam tatapan mata. Tidak ada yang berubah. Hanya sosok berbusana serba putih sebegitu suci tiada lagi. Akupun tiada lagi mencium aroma serasa sebegitu religius. Udara memang dingin, karena rinai gerimis mulai menitis.
Ah, hanya mimpi. Ternyata waktuku belum tiba. Namun, aku buru-buru bangkit dari pembaringan menyadari sesungguhnya waktu telah tiba dan akan segera berlalu. Yang Mahaagung telah menetapkan waktu untukku serta untuk saudara-saudaraku seiman segera menyembah padaNya. Bagaimanapun aku tidak ingin kehilangan waktu paling berharga di dunia.

Sampali, 2012

Tidak ada komentar: