“Hatsyim! Hatsyim!”
Bersin menyalak mengoyak keheningan dinihari. Mengusik inspirasi,
Membuyar mimpi. Kebisuan menjalari pecah seketika.
“He! Siapa yang bersin? Mengganggu ketenangan saja.” Satu Tanya terdengar dari pojokan kiri ruangan.
“Siapa lagi. Pasti si Anwar!” Satu jawab menimpali.
“Jangan selalu berprasangka, Bung.” Satu bicara bernada rendah mencampuri.
“Bukan prasangka, ini kenyataan, Kawan!”
“Anwarkan bersin. Mengapa dipermasalahkan?”
“Bersin sekalipun ada etikanya. Menjauh dulu, menutup bagian hidung dan mulut, lalu meminta maaf. Jangan diledakkan sesukanya. Selain kurang sopan, bisa menularkan virus penyakit.”
“Bersin itu bawaannya spontan, Bung. Mendesak segera dilepaskan. Jika ditahan-tahan, malah menjadikan perasaan tidak nyaman. Tersiksa atau bikin stress. Seperti desakan ingin buang angin, jika ditahan-tahan bisa mulas perut dibuatnya.”
“Anda membelanya?”
“Bukan soal bela-membela, Bung. Itu tendensius! Jangan menggiring pembicaraan ke arahpertentangan.”
“Aduh, mengapa pula jadi bertengkar? Tak kenal tempat dan waktu pula kalian.”
“Ah, bukan bertengkar Pak Datuk. Persoalan beda pendapat saja.”
“Beda pendapat apa saling debat? Hentikanlah dulu. Kita perlu istirahat, supaya wajah kita tampak segar di penampilan berikutnya.”
***
Waktu bergulir menjalari malam bersama gairah nyamuk-nyamuk membaui aroma darah. Dengingnya mengusik kuping-kuping. Seekor nyamuk terperosok ke lubang hidung, terperangkap bulu-bulu berlumur cairan. Geliatnya sebegitu menggelitik.
“Hatsyim! Hatsyim!”
“Bersin kembali menyalak, mengoyak hening mendekap lelap. Inspirasi dan mimpi-mimpi menari kembali henti.
“Aku minta maaf, Kawan. Sesuatu yang spontan sulit kutahan. Harus segera kulepaskan.”
“jangan jadikan hal-hal spontan sebagai alasan, Kawan. Itu memperlihatkan kelemahan.”
“jangan kembali memancing pertengkaran, Bung.”
“Terserah menanggapinya!”
“Aduh, kenapa bertengkar lagi? Kalian seperti anjing dan kucing, selalu ada hal menyulut pertikaian.”
“Bukan begitu Pak Datuk. Ilham sama saja dengan si Anwar, bersin seenaknya!”
“Sudah kukatakan, itu spontan saja.”
“Sering kita melakukan kesalahan tanpa kita menyadarinya. Malah kita anggap wajar saja, karena kebetulan, atau kebiasaan.”
“Bersinku spontan, Bung! Bukan kebiasaan.”
“Sudah! Sudahlah. Bapak mau melanjutkan tidur. Kita harus memanfaatkan waktu istirahat. Besok penutupan pameran, pengunjung pasti banyak yang datang. Apa kita akan menyambut mereka dengan gurat kantuk dan lelah di wajah?”
“Nyamuk-nyamuk terus mengganggu, Pak Datuk. Bagaimana jika kipas angin dihidupkan.”
“Terserah.”
***
Waktu terus bergulir bersama angin. Jam di dinding tiga kali berdenting. Suasana kembali hening. Kipas terus berputar dan angin menyebar menampar wajah-wajah lelah dipeluk kantuk.
“Hatsyim! Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak menyeruak kesenyapan suasana. Melengking di dinding-dinding kuping dan memantul dari bentur dinding ruang.
“Bersin lagi! Bersin lagi! Mengganggu tidur saja.” Satu tegur meluncur dari geliat tidur.
“Siapa yang mengganggu? Justru aku merasa terganggu, karena hidungku kemasukan debu. Matikan saja kipas angin tersebut!”
“Hidungmu yang menyalah, kau salahkan pula kipas angin.”
“Menyalah apanya?”
“Sama kau semua salah. Tak ada yang cocok.”
“Aduh, bertengkar lagi, bertengkar lagi. Tak pernah usai.”
“Maaf Pak Datuk, kita kan perlu istirahat. Tapi baru sesaat, bersin kembali mengganggu. Mulanya si Anwar, lalu si Ilham. Sekarang balik lagi si Anwar.”
“Jangan seenaknya menyalahkan kami! Salahkan nyamuk-nyamuk dan kipas angin.”
“Bagaimana pula menyalahkan benda-benda itu?”
“Sudahlah. Jangan saling menyalahkan. Bersin memang seuatu yang bersifat spontan. Tapi ketika kita merasa hendak bersin, kita harus bisa bersikap sopan. Ada tata karma dan juga doa mengaturnya. Ini yang selalu kita sepelekan. Kita sering merasa bertindak benar berdasar alasan kebiasaan. Padahal bagi yang lain belum tentu bisa menerima berdasarkan alasan pula. Masing-masing kita harus mampu bersikap dalam memandang persoalan. Yang utama adalah menjaga perasaan, sehingga terkesan kewajaran. Bukan pemaksaan.
***
Waktu terus merayap di malam menggelap. Suasana kembali berangsur senyap.angin menusuk memperberat kantuk. Dari luar terdengar ketuk-ketuk langkah. Kilau cahaya senter menerobos pintu kaca menyorot isi ruang pameran. Mengarah ke kursi dan meja, lalu berpindah ke dinding. Potret wajah penyair beserta sejudul puisinya pada bingkai masing-masing tergantung di dinding.
“Sudah kubilang, itu hanya perasaanmu saja.”
“Aku yakin dan tidak salah dengar. Ada salak bersin, ada yang berbicara, tengkar dan ribut dari ruangan ini.”
“Ah, kau hanya mengada-ada. Ayo kita balik ke pos jaga. Aku sangat ngantuk!” Kedua penjaga serentak beranjak
“Hatsyim! Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak. Kedua penjaga spontan menoleh kea rah ruang pameran, di hati mereka ada detak menyentak. Keduanya tepacak tanpa gerak.
Taman Budaya Sumatera Utara, 0612
Tidak ada komentar:
Posting Komentar