Oleh Sartika Sari
Setiap orang berhak menulis. Kita sepakat dengan hal itu. Semua orang berhak menulis sastra. Kita sepaham. Terserah, ingin menggunakan media apa. Sepertinya sejauh ini belum ada peraturan yang melarang seseorang untuk menulis sastra. Baik itu menulis di media koran, internet ataupun yang lainnya. Belakangan yang ramai adalah sastra yang di tulis di media internet. Baik itu facebook, blog, milist dan sebagainya. Lantas, pelan-pelan menyusul istilah baru, sastra internet. Adakah?
Mengenai hal ini, sebelumnya beberapa tokoh sastra telah memperbincangkannya. Salah satunya Yo Sugianto (Warung apresiasi) yang sangat memperhatikan keberadaan sastra internet. Dalam beberapa perbincangan, beliau menyatakan perlu perhatian untuk salah satu media ini. Mengingat, ini merupakan salah satu bentuk pengembangan sastra.
Benar memang, nafas sastra kita ‘terengah-engah’. Dalam artian, memang membutuhkan perhatian lebih. Kita tentu sudah melihat keberadaan sastra di internet ini cukup lama. Misalnya, dari facebook, setiap harinya dari 55 juta orang yang menggunakan facebook (Kompas.com) banyak yang menulis sastra baik itu puisi, cerpen dalam bentuk status ataupun catatan. Lain lagi pada blog yang cenderung menjadi ruang publikasi penulisnya. Memang belum ada penelitian khusus perihal berapa banyak penggiat sastra di internet. Namun paling tidak kita sudah menjadi saksi keramaian itu. Beberapa contohnya seperti keberadaan, Fordistra yang menyebut namannya sebagai sastra cyber, Sastra Facebook, Salam Sehati Syair Kehidupan, Beranda Rumah Cinta, blog sastra yang memang diasuh oleh sastrawan: Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, dan sejumlah alamat lainnya.
Keramaian itu merupakan suatu bentuk antusias para pengguna internet (netter) pada sastra. Di satu sisi muncul keresahan terhadap kekuatan sastra yang sebenarnya. Sebab, sejalan dengan versi Jurnal Nasional 2009 (dalam opini Zulfikar Akbar) pernah menyebut perkembangan sastra cyber yang begitu pesat melumat sekat-sekat batas. Tidak ada kasta, semuanya berada dalam satu ruang dan setara, tanpa embel-embel penulis ternama atau penulis pemula. Semuanya bebas menuangkan apa saja yang ada di kepalanya, mulai dari kata-kata puitis hingga sumpah serapah.
Jika memang demikian keadaannya, maka tidak aka nada lagi ‘keramat’ yang menjadi kompas dan dipuja-puja secara berlebihan. Sebab pada internet, setiap menitnya lahir karya-karya yang baru, dan banyak pula yang indah. Berbeda dengan kehadiran karya sastra pada koran-koran tertentu yang hanya menerbitkan karya sastra seminggu sekali.
Ramainya sastra di internet menjadi sebuah semangat khususnya bagi para penggiat sastra. Tinggal bagaimana membekali, mengemas dan merawat tubuhnya (sastra) agar tak belang dan mendatangkan mudarat. Artinya, butuh keseriusan bagi siapa saja yang terjun ke dunia sastra, utamanya yang bermain di pusaran besar bernama internet untuk memperhatikan berbagai hal.
Berkaitan dengan tujuan tersebut, mungkin perlu untuk melirik kembali apa yang pernah pula disebutkan oleh Ahmadun (Republika, 23 Des 2007): Pertama, menguatkan jaringan sosialisasi sastra dengan disertai pemberian penghargaan khusus pada karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dan dipilih secara objektif untuk kepentingan sastra itu sendiri. Kedua, menghidupkan kembali tradisi kritik sastra yang profesional dan hanya mendasarkan pada keunggulan teks, bukan hal lain di luar teks sastra.
Ketiga, meningkatkan penerbitan karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dengan pemberian penghargaan tahunan berdasarkan penilaian yang benar-benar objektif dan semata untuk kepentingan sastra. Keempat, meningkatkan apresiasi sastra masyarakat agar memiliki rasa cinta sekaligus sikap kritis terhadap karya sastra, sehingga mampu menengarai mana karya sastra yang bagus, dan mana yang buruk serta tidak layak ‘dikonsumsi’. Kelima, meningkatkan kualitas sistem seleksi karya pada rubrik-rubrik sastra di media massa (surat kabar), serta media-media khusus sastra, dengan tetap memelihara semangat multikultural, dan tanpa melupakan misi pembinaan serta kaderisasi. Keenam, meningkatkan kesadaran atas keberagaman corak estetik dan tema karya sastra tanpa melupakan pentingnya kualitas. Jadi, membangun semacam demokratisasi sastra yang sehat dan selektif, serta berorientasi pada kualitas. Dengan langkah-langkah di atas, barangkali kita pelan-pelan dapat mengembalikan tradisi sastra kita pada kekuatan teks. Bukan pada kekuatan lobi, provokasi, selera pasar semata, maupun kepentingan gang, idiologi dan mafia komunitas.
(*) Sartika Sari. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unimed, bergiat di KONTAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar