Senin, 20 Februari 2012

SASTRA SEADANYA Dan AKIBATNYA

Apakah ruang lingkup sastra termasuk sastrawannya kian menyempit, terkucil dan marginal? Mungkin tidak; mungkin benar.Dunia sastra sebegitu luas tanpa batas. Karya sastra mengandung nilai-nilai luhursebegitu bermanfaat menyelaras kehidupan. Banyak tokoh dunia atau orang sukses menjadikan buku-buku sastra atau menikmati karya sastra untuk lebih memperhalus sekaligus mempertajam nuansa wawasannya. Mediapun menyediakan rubrik sastra bagi pembaca sebagai penyeimbang.
Nuansa dalam sastra adalah kepekaan. Banyak yang tidak mampu menangkap kepekaan tersebut. Seperti halnya sastrawan memerlukan proses untuk bisa menghasilkan karya, menikmati sastra pun memerlukan proses.
Proses adalah pembelajaran. Pembelajaran tentang sastra berjalan bertahap. Yang pertama tentunya kemauan. Sayangnya, untuk mengawali tahap kemauan pun sering terbentur keraguan. Apakah dunia sastra bisa menjamin kehidupan secara materi?
Bagaimanapun, keraguan berbuah pertanyaan tersebut pasti timbul. Sebab pola pikir masyarakat terus menjuruh ke arah konsumtif; materi – ekonomi. Harus kita akui, di sini kondisi bersastra dan sastrawannya masih memprihatinkan.
Menggeluti dunia sastra membutuhkan kesetiaan. Kesetiaan yang ternyata selalu dibarengi pengorbanan. Banyak Sastrawan menjalani kesetiaan itu dalam kegetiran berkehidupan. Sementara penghargaan atas dedikasi kesetiaan mereka: wallauhualam. Padahal anugerah, jaminan hari tua atau semacam dana pensiun sepantasnya mereka dapatkan.
Kondisi seperti ini mendilemma. Keraguan untuk berkecimpung dalam sastra atau menjalaninya setengah hati, menyebabkan kian marginalnya sastra. Yang menyedihkan sastra kian terasing dari masyarakat sastra itu sendiri. Termasuk masyarakat seni lainnya.
Kegiatan sastra berlangsung seadanya, tanpa mendapat respons masyarakat. Kegiatan sastra sering terkendala, karena minimnya dana. Pengajaran sastra di sekolah berlangsung seadanya. Mengapa demikian? Pertama terbatasnya jam pelajaran materi sastra, sehingga sastra yang diajarkan pun hanya seadanya. Sebenarnya hal ini bisa disiasati dalam bentuk tugas. Sayangnya, tugas yang diberikan pun tidak representatif. Semisal meng-kliping karya sastra dari media cetak, namun tak pernah menelaah materi dan isi karya tersebut.
Kedua, ekstra-kurikuler untuk sastra tak jadi pilihan. Kalaupun ada, tak pernah diupayakan menarik minat dan mengasah bakat siswa bersastra. Hal ini terkaiat dengan rendahnya kemampuan guru menguasai sastra, kurikulum terbatas dan kurangnya dukungan pihak sekolah, termasuk para orangtua. Pelajaran sastra masih “menumpang” pada mata pelajaran Bahasa dengan perbandingan 5 untuk bahasa, 1 untuk sastra. Umumnya para guru hanya memiliki kemampuan mengajar bahasa, namun dangkal pengetahuannya tentang sastra. Sementara pihak sekolah cenderung mengutamakan kegiatan ekstra yang “hura-hura”. Sastra sebagai kegiatan ekstra-kurikuler hanya dipandang sebelah mata.
Demikianlah kegiatan sastra berlangsung seadanya. Kondisi begini pada gilirannya memarginalkan sastra itu sendiri. Sastra tak lagi ditempatkan pada posisi dipentingkan.sastra sebagai penyelaras; sastra sebagai pembangun wawasan, dan sastra sebagai memperkaya hati nurani. Akibatnya kekerasan pun menjadi-jadi.
Sastrawan kita masih melangkah terpatah-patah. Lelah mengusung kesetiaan bersastra. Berjalan tertatih menyusuri kegetiran hidup. Kesetiaan bersastra dan kegetiran menjalani kehidupan masih milik sastrawan. Satu persatu berlalu meninggalkan warisan kekayaan nurani. Dan para generasi enggan “memperebutkannya”.
Keengganan, keraguan, dan ketidakpedulian akan sastra membuat hati nurani kian kerdil. Tumbuh dan terbangunlah jiwa-jiwa kasar. Sementara nilai-nilai keagamaan juga diabaikan, bahkan ditinggalkan. Moral ummat pun bertambah rusak. Jadilah tidak kejahatan dalam berbagai bentuk bersimeraja-lela.
Bagaimanapun, kondisi ini bersebab-akibat. Andai kita menelusuri mengurai benang kusut sebab-akibat, semua pihak berperan menjadi penyebab.oleh karenanya, tak perlu ribut saling menyalah. Mari bersama membenahi.

Sampali, 0512

Tidak ada komentar: