Selasa, 21 Februari 2012

Cerpen: BUKIT KEMENANGAN

Bagi seluruh warga Desa Sumberejo, Mbah Karto sebegitu dihormati dan disegani. Beliau sesepuh desa. Selepas masa perjuangan beliau bersama pengikutnya membuka desa tersebut, Desa yang terletak di lembah Bukit Kemenangan. Nama bukit tersebut pun adalah petunjuk Mbah Karto. Bagi beliau dan pengikutnya, bukit tersebut menjadi markas mereka semasa perjuangan melawan penjajah, Berkali mereka mencegat konvoi pasukah penjajah dan menghancurkannya. Mereka pun berkali meraih kemenangan gemilang.
Pagi tiba di desa tersebut. Matahari belum sempurna terlihat. Udara terasa lebih dingin. Hujan rinai hingga dinihari membasahi permukaan desa. Jalan tanah membelah desa terlihat agak becek.
Aktifitas penduduk kembali dimulai. Anak-anak berseragam putih merah berkelompok menuju sekolah dasar terletak di ujung desa. Yang bersekolah di tingkat lanjutan, berjalan menuju jalan persimpangan desa menunggu angkutan ke kota kecamatan. Yang dewasa perempuan dan lelaki memulai rutinitas sehari-hari. Ke sawah, ke kebun, ke pasar, sungai, berkedai, dan sebagian lagi ke hutan Bukit Kemenangan mengumpuli kayu bakar. Satu dua terlihat menggiring ternaknya menuju hamparan rerumputan di utara desa.
Selepas shubuh Mbah Karto telah bersantai di serambi. Di meja tersedia secangkir teh kental dan beberapa potong singkong rebus. Setiap warga melintas depan rumahnya selalu menyapa memperlihatkan sikap hormat. Mbah Karto pun selalu membalasnya. Sesekali beliau beranjak ke tangga serambi menyongsong dan berbincang sesaat perihal kehidupan penduduk. Ini telah menjadi kebiasaan Mbah Karto setiap pagi sebelum berjalan mengitari desa.
Pagi ini belum sempat Mbah Karto turun, Parman menantunya yang diangkat warga menjadi lurah, tiba bersama dua tamu. Seorang bapak memakai tungkat di bahu kiri dan seorang pemuda sebaya Minah cucunya. Mbah Karto bergegas bangkit menyongsong.
“Assalamu ‘alaikum,” sapa Parman.
“Waalaikum salam, ada apa dan siapa mereka Parman?”
Belum sempat Parman menjawab, tamu yang bertungkat keburu merangkul Mbah Karto, sehingga keduanya nyaris terjajar jatuh. “Masih ingat denganku Pak?”
Mbah Karto tertegun bagai melamun. Ditatapnya seksama wajah di hadapannya, namun tak jua bisa memastikan siapa. Lelaki bertungkat itu tak ingin Mbah Karto berlama tertanya.
“Aku Marno, Pak!” lelaki itu mengguncang bagu Mbah karto. “Ini Anto putraku. Ayo Anto, beri hormat pada komandan bapak.”
Mbah karto terhenyak bak hilang gerak. Marno anak buahnya yang dijuluki “si-Penakut” itu kini di hadapannya. “Marno? Kaukah ini Marno? Massya Allah! Ke mana saja kau selama ini?” Mbah Karto mendekap erat tubuh Marno. Marno membenam diri dalam dekapan komandannya. Keduanya sesunggukan dan mata mereka berkaca-kaca.
“Panjang ceritanya Pak,” sahut Marno seraya membetulkan letak tungkat di bahu kirinya. Mbah Karto menuntun Marno menuju bangku.
“kecelakaan itu membuatku pingsan. Ketika tersadar, aku telah terbaring di balai pengobatan. Kata petugas palang merah, aku tidak sadar selama tiga hari. Saat sadar, aku ingat bapak dan teman-teman. Aku mencoba bangkit, namun kaki kiriku tak kuasa digerakkan. Menurut dokter, tulang pahaku remuk. Aku begitu sedih, berharap Bapak atau teman-teman datang, namun tak jua ada. Menurut informasi, penjajah telah memblokir jalan, memperketat pengepungan terhadap markas kita. Hingga kami diungsikan ke tempat lebih aman, aku tak pernah mengetahui khabar keberadaan Bapak dan teman-teman.”
“Seperti yang kau lihat Marno, komandanmu ini masih hidup. Penjajah tidak pernah mampu merebut markas kita. Meski persenjataan mereka jauh lebih lengkap, namun kita lebih kenal medan. Penjajah….” Mbah Karto tak melanjutkan ucapannya. Seketika terdiam. Seperti ada yang difikirkannya. Matanya terpejam dalam. Marno serta Anto anaknya heran melihat perubahan sikap Mbah Karto tersebut.
Rauangan sin-saw, mesin gergaji terdengar di kejauhan. Tak lama disertai suara derak pohon yang tumbang. Sesaat kemudian, sesungging senyum menghias di bibir Mbah Karto. Seakan beliau barusan mendengar alunan teramat indah.
“Ada apa Pak?” Marno tertanya.
Mbah karto tersentak, “Eh, ah tidak. Tidak apa. Bapak jadi teringat masa perjuangan kita dulu.”
Matahari mulai sepenggalahan. Bagi Mbah Karto saatnya untuk turun berjalan mengitari desa. Diajaknya Marno dan Anto mengikutinya.
“Jadi selama ini kau tinggal di mana Marno?”
“Semula kami tinggal di Desa Randu Alas. Hampir sepuluh tahun aku menetap di situ. Di situ pula aku bertemu dan menikah dengan Sri, ibunya Anto. Hingga satu ketika, kami dan seisi desa mengalami peristiwa tragis. Para pemberontak menjadikan desa kami sebagai sarang mereka. Banyak penduduk menjadi korban, termasuk istriku. Aku membawa Anto mengungsi dari satu tempat ke tempat lain.”
“Malang nasibmu Marno.” Mbah Karto terenyuh mendengar kisah anak buahnya.
Ketiganya kembali melangkah menyusuri jejalanan desa. Pak Marno terkagum melihat rumah-rumah penduduk. Seragam dan tertata rapi. Berdinding setengah tembok bata dan papan olahan.
Raungan sin-saw kembali terdengar. Beberapa saat kemudian diiringi suara derak pohon tumbang. Mbah Karto kembali tertegun sesaat, lalu sesungging senyum kembali menggores di bibirnya. Beberapa kali kejadian itu terulang. Pak Marno dan Anto makin penasaran.
“Aku tidak bisa mengerti mengapa Mbah selalu tertegun lalu tersenyum saat terdengar raungan mesin gergaji dan suara derak pohon yang tumbang?” Anto tertanya.
Mbah Karto menoleh memandangi Anto, kemudian melangkah menuju satu gundukan. “Tidakkah kalian bisa merasakan sesuatu yang merdu di pendengaran, disaat mendengar semuanya? Sesuatu bagai alunan nada indah mengguratkan kenangan mengesankan.”
“Nada merdu? Kenangan mengesankan? Maksud Bapak?” Pak Marno tampak dalam balutan kebingungan.
“Yah, sebegitu merdu dan indah. Bagai alunan irama mars menghentak di dada. Membangkitkan gairah. Ah, benar-benar mengesankan, Marno!”
Raungan sin-saw kemudian derak pohon tumbang kembali terdengar. “Kalian telah mendengar dan merasakan? Betapa suara itu mengalun indah di telinga, lalu menjalari seluruh tubuh. Mendengarnya, gairah di masa perjuanganku dulu kembali menjalari urat-urat nadi. Semangat kembali menyala-nyala. Semangat yang selalu menggelora, manakala konvoi penjajah yang kita intai segera tiba di depan mata. Semangat untuk meraih kemenangan demi kemenangan. Tak dapatkah kau merasakannya Marno?”
Pak Marno memandang kea rah Mbah Karto . Keningnya tergurat ketidakmengertian dan tanda tanya akan sikap dan ucapan Mbah Karto. “Justru suara derak pohon tumbang itu seakan menyayat di hatiku. Menggoreskan kekhawatiran akan…”
“Marno, kita dulu adalah pejuang penuh semangat dan aku tidak mau semangat itu melemah dan pudar. Aku selalu ingin mematri semangat itu, kendati kita telah tua. Di mana kini semangat perjuanganmu Marno?”
“Aku tetap memiliki semangat itu Pak. Tapi, aku tidak mengerti kaitannya dengan suara derak pohon tumbang.”
“Marno…Marno. Kau telah melupakan kisah perjuangan kita!”
“Tak pernah aku melupakan itu Pak! Bapak bisa menyaksikan kaki kiriku yang cacat ini. Bagaimana mungkin aku melupakannya.”
“Kenyataannya demikian! Secara sepintas aku merasakan semangat itu melemah di dadamu. Apalagi pada dasarnya kau kurang memiliki keberanian. Mendengar deru tank penjajah saja kau sudah gemetaran. Kau bergerak lari sebelum aku perintah, akibatnya satu pohon yang kita tumbangkan sempat menimpa dirimu.”
“Aku memang penakut Pak. Tapi aku punya semangat melawan penjajah, ketimbang mereka yang tak peduli akan nasib bangsa tertindas. Apalagi mereka yang menjadi antek penjajah. Pengkhianat bangsa!”
“Bagiku Marno, suara derak pohon tumbang selalu membuatku semangat. Semangat sebagai pejuang Tanah Air yang tak pernah pudar, hingga aku mati. Bagaiman dulunya kita bersemangat menghancurkan konvoi pasukan penjajah. Dari atas bukit kita mengintai dan menanti musuh. Ketika musuh telah tiba di depan mata, kita cegat di depan dan belakang mereka dengan pohon-pohon yang ditumbang. Bahkan pohon yang tumbang itu menimpa mereka. Di saat mereka kucar-kacir, kita serentak menyerang. Dan kemenangan gilang-gemilang selalu kita raih dengan taktik penyergapan demikian.”
Pak Marno dan Anto mulai mengerti apa kaitan antara suara derak pohon yang ditumbang dengan sikap aneh Mbah Karto. Keduanya diam dengan fikiran masing-masing. Raungan sin-saw disusul suara derak pohon tumbang kembali terdengar. Mbah Karto tertegun, sesungging senyum kembali hadir di bibirnya. Hutan Bukit Kemenangan terlihat lebat menghijau.
“Telah berpa lama kegiatan penebangan ini berlangsung Pak?” Tanya Marno
“Telah puluhan tahun. Tak lamasetelah desa ini kami buka. Sesorang dari kota datang memohon persetujuan padaku dan penduduk desa untuk mengelola hutan desa dan membuka kilang kayu.”
“Telah puluhan tahun? Dan selama itu tidakkah pernah timbul bencana?”
“Bencana? Bencana apa Marno?”
“Bencana banjir atau justru kekeringan Mbah.” Anto langsung menjawab.
“Benar Pak. Itu yang kumaksud”
Mbah Karto mengerti arah tujuan pertanyaan Pak Marno. Beliau tersenyum memegang bahu Pak Marno. “Seperti yang kalian saksikan, desa ini adem tenteram. Persawahan dan tanaman lain penduduk sebegitu subur. Aku tidak bodoh Marno. Sedikit banyak aku mengerti perihal akibat dari penebangan hutan. Kepada pengelola dan pemilik kilang kayu aku tetapkan persyaratan, aturan dan kewajiban.
Dan hal itu telah disepakati hingga kini. Hutan Bukit Kemenangan tetap terjaga. Penduduk juga dilibatkan sebagai pekerja untuk membiayai kebutuhan hidup mereka. Sarana desa dibangun. Bagi kami perusahaan kilang kayu ini sangat berarti meningkatkan taraf hidup. Kau dan anakmu pun boleh tinggal di desa ini Marno. Bagaimana?”
Pak Marno mengangguk setuju. Raungan sin-saw kembali terdengar diikuti suara derak pohon yang tumbang, mbah Karto kembali tersenyum. Kisah perjuangan di Bukit Kemenangan selalu jadi kenangan indah baginya.

Sampali, 2012

Tidak ada komentar: