Kamis, 22 Desember 2011

SASTRA DAN INTERNET

Oleh Sartika Sari

Setiap orang berhak menulis. Kita sepakat dengan hal itu. Semua orang berhak menulis sastra. Kita sepaham. Terserah, ingin menggunakan media apa. Sepertinya sejauh ini belum ada peraturan yang melarang seseorang untuk menulis sastra. Baik itu menulis di media koran, internet ataupun yang lainnya. Belakangan yang ramai adalah sastra yang di tulis di media internet. Baik itu facebook, blog, milist dan sebagainya. Lantas, pelan-pelan menyusul istilah baru, sastra internet. Adakah?
Mengenai hal ini, sebelumnya beberapa tokoh sastra telah memperbincangkannya. Salah satunya Yo Sugianto (Warung apresiasi) yang sangat memperhatikan keberadaan sastra internet. Dalam beberapa perbincangan, beliau menyatakan perlu perhatian untuk salah satu media ini. Mengingat, ini merupakan salah satu bentuk pengembangan sastra.
Benar memang, nafas sastra kita ‘terengah-engah’. Dalam artian, memang membutuhkan perhatian lebih. Kita tentu sudah melihat keberadaan sastra di internet ini cukup lama. Misalnya, dari facebook, setiap harinya dari 55 juta orang yang menggunakan facebook (Kompas.com) banyak yang menulis sastra baik itu puisi, cerpen dalam bentuk status ataupun catatan. Lain lagi pada blog yang cenderung menjadi ruang publikasi penulisnya. Memang belum ada penelitian khusus perihal berapa banyak penggiat sastra di internet. Namun paling tidak kita sudah menjadi saksi keramaian itu. Beberapa contohnya seperti keberadaan, Fordistra yang menyebut namannya sebagai sastra cyber, Sastra Facebook, Salam Sehati Syair Kehidupan, Beranda Rumah Cinta, blog sastra yang memang diasuh oleh sastrawan: Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, dan sejumlah alamat lainnya.
Keramaian itu merupakan suatu bentuk antusias para pengguna internet (netter) pada sastra. Di satu sisi muncul keresahan terhadap kekuatan sastra yang sebenarnya. Sebab, sejalan dengan versi Jurnal Nasional 2009 (dalam opini Zulfikar Akbar) pernah menyebut perkembangan sastra cyber yang begitu pesat melumat sekat-sekat batas. Tidak ada kasta, semuanya berada dalam satu ruang dan setara, tanpa embel-embel penulis ternama atau penulis pemula. Semuanya bebas menuangkan apa saja yang ada di kepalanya, mulai dari kata-kata puitis hingga sumpah serapah.
Jika memang demikian keadaannya, maka tidak aka nada lagi ‘keramat’ yang menjadi kompas dan dipuja-puja secara berlebihan. Sebab pada internet, setiap menitnya lahir karya-karya yang baru, dan banyak pula yang indah. Berbeda dengan kehadiran karya sastra pada koran-koran tertentu yang hanya menerbitkan karya sastra seminggu sekali.
Ramainya sastra di internet menjadi sebuah semangat khususnya bagi para penggiat sastra. Tinggal bagaimana membekali, mengemas dan merawat tubuhnya (sastra) agar tak belang dan mendatangkan mudarat. Artinya, butuh keseriusan bagi siapa saja yang terjun ke dunia sastra, utamanya yang bermain di pusaran besar bernama internet untuk memperhatikan berbagai hal.
Berkaitan dengan tujuan tersebut, mungkin perlu untuk melirik kembali apa yang pernah pula disebutkan oleh Ahmadun (Republika, 23 Des 2007): Pertama, menguatkan jaringan sosialisasi sastra dengan disertai pemberian penghargaan khusus pada karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dan dipilih secara objektif untuk kepentingan sastra itu sendiri. Kedua, menghidupkan kembali tradisi kritik sastra yang profesional dan hanya mendasarkan pada keunggulan teks, bukan hal lain di luar teks sastra.
Ketiga, meningkatkan penerbitan karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dengan pemberian penghargaan tahunan berdasarkan penilaian yang benar-benar objektif dan semata untuk kepentingan sastra. Keempat, meningkatkan apresiasi sastra masyarakat agar memiliki rasa cinta sekaligus sikap kritis terhadap karya sastra, sehingga mampu menengarai mana karya sastra yang bagus, dan mana yang buruk serta tidak layak ‘dikonsumsi’. Kelima, meningkatkan kualitas sistem seleksi karya pada rubrik-rubrik sastra di media massa (surat kabar), serta media-media khusus sastra, dengan tetap memelihara semangat multikultural, dan tanpa melupakan misi pembinaan serta kaderisasi. Keenam, meningkatkan kesadaran atas keberagaman corak estetik dan tema karya sastra tanpa melupakan pentingnya kualitas. Jadi, membangun semacam demokratisasi sastra yang sehat dan selektif, serta berorientasi pada kualitas. Dengan langkah-langkah di atas, barangkali kita pelan-pelan dapat mengembalikan tradisi sastra kita pada kekuatan teks. Bukan pada kekuatan lobi, provokasi, selera pasar semata, maupun kepentingan gang, idiologi dan mafia komunitas.

(*) Sartika Sari. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unimed, bergiat di KONTAN.

PUISI-PUISI SARTIKA SARI

September Yang Telah Usai

barangkali ini hanya penggalan kisah
yang kemarin kita lakoni
"aku akan tumpas bersama lidah ombak
yang menjilat wajah batu."katamu
sontak nyiur meronta,
tak suka dengan pergelaran kita
namun kau memilih bungkam
menerawang angin di wajah lautan
menimpali mataku masih beku
meraba senja tempat kita merapal temu
aku tahu,
ada gerimis yang tersembunyi
di balik jilbab merah
dan beberapa kali,
kutangkap punggung tanganmu
basah oleh air mata
tapi kau masih saja mengelak,
tak ada jawaban hingga mentari
tepat pada persimpangan malam
kau masih menguliti rindu
dengan senyum sendu itu
dan padanya aku mengaku kalah
lalu kita diam.
membelakangi pantai
bernegosasi dengan petang
aku telah tenggelam dalam september
bersama segala kenangan yang
sempat kita simpan
esok, jika kau berkenan
jenguklah kami meski almanak
telah usang

medan | sketsa Kontan

Sebab Aku Telah Pergi

berikutnya aku hanya termangu
memandangi burung dan tangkai bunga
yang mencoraki dinding rumah
"aku harus pergi."katamu
wajah daun tertunduk lesu
membungkam terang
hingga tiarap pada air mata
aku akan selalu merindu
ketukan embun,
dan kepakan sayap merpati,
yang kerap menjiwai parasmu
barangkali ini rasa yang telah menua
diantara rumput dan pohon yang masih belia
dan denting waktu dalam tiap angka
"berhentilah merindu.
sebab aku akan terluka
dengan semua kata yang
tercipta karenanya."
aku akan berpisah dengan rindu
sebab sebelum ia menelisik telingamu
aku telah pergi
memendam segala di balik tanah merah

| sketsa Kontan

Karena Rindu

hanya malam yang tahu
kapan pembicaraan ini usai
sebab rindu masih menggerutu
kita masih saling beku
lewat kata yang terpisah tempuh
kau masih dalam peraduanmu
sedang aku telah tualang dalam waktu
aku ingin dengar
ritme angin di dinding pintu
gelak tawa di ruang tamu
dan tatap sendu
di tiap fajar hingga petang
ah,ini malam aku berkarib awan hitam
yang sesaat lagi akan gerimis
lalu badai dan guntur melintang
karena rindu.

| sketsa Kontan

Meski Tanpa Nadi

masih saja ada semburat luka yang menganga
bersatu bau dengan hujan
dan gelegar petir dalam badai
teringat kala itu
kita beku dalam tatap yang sendu
"aku ingin mengairi hatimu dengan cinta,
seperti nil yang tak pernah kering."
tapi
segalanya hanya bertekuk pada kata
kita terpisah dalam kisah yang mereka ubah
ah,
mungkinkah takdir itu bisa ku belah?
sebab aku masih ingin
menata senja,
melukis kedip matahari,
lidah ombak dan pasir putih
tempat kita mengikat rasa
aku akan kembali
dalam alur yang sempat kita ulur
meski tanpa nadi

| sketsa Kontan

Sabtu, 03 Desember 2011

Puisi Lara Indonesiaku /3/

di barat cuaca kian tak bersahabat,
di timur angin badai menabur duka
sehelai demi sehelai dedaunan gugur
bocah bocah lelah dimangsa gelisah
ibu ibu sendu gugu bertopang dagu
di dada mereka bencana mendera dera
bathin dipilin, akal terpenggal
siang adalah keletihan teramat panjang
malam tenggelam dalam cengkram mencekam
di halaman, hanya kesunyian tersisa
tiada petak umpet,tiada dolanan
hanya ketakutan!
tiada dodoi si dodoi, tiada nina bobo,
hanya kebisuan

bocah bocah hilang suasana ditelan ketakutan
di sisinya ibu ibu membisu dalam sendu
di barat dan timur bencana terus saja mendera dera