Selasa, 28 Februari 2012

Sastra Medan Krisis Estetika

SELAIN pada kandungan nilai, karya sastra khususnya puisi juga terikat estetika. Bahkan tak sedikit di antaranya yang berhasil, karena semata-mata keanggunan estetisnya, baik bentuk maupun isinya. Estetika yang saya maksud di sini adalah kemampuan sastrawan mengeksplorasi imajinasinya untuk mengangkat makna melalui pilihan-pilihan kata yang terkesan eksperimentatif. Apa yang dilakukan Sutardji empat dekade lalu, termasuk salah satunya.
Sampai saat ini puisi-puisinya masih memiliki tempat tersendiri karena eksplorasi unik yang dia lakukan itu. Harus diakui, di Medan karya-karya semacam itu, agaknya tidak terlalu diminati. Wajar saja, mengingat watak sastrawan maupun pembaca sastra Medan cenderung lebih pragmatis. Karya sastra yang dibutuhkan di kota ini sepertinya lebih masih bersifat konvensional, yakni karya-karya yang alur dan ide ceritanya jelas. Boleh jadi karena keragaman kultur, masyarakatnya jadi membutuhkan semacam kesepahaman bersama dan mudah dimengerti.

Kesempatan untuk menonjolkan identitas tertentu dalam sebuah karya sastra, terutama puisi, sangat minim dan malah sering dianggap "gangguan" yang mengusik bahkan membebani pikiran pembacanya. Alhasil para para penulis puisi di Medan lebih memilih tunduk pada idiom-idiom yang berlaku universal.

Beda halnya dengan prosa, seperti cerita pendek ataupun novel. Karena ruang kreativitasnya yang luas dan fleksibel telah memberinya kesempatan yang lebih besar untuk bermain-main dalam tataran estetis. Pembaca tetap mampu mengikuti alur dan ide cerita meski diungkapkan dengan ciri khas identitas tertentu. Tidak seperti puisi. Selain karakteristiknya yang lebih padat, pengungkapannya juga sangat terbatas dibanding prosa. Keterbatasan itu tak jarang membuat sastrawan dan pembaca kita saling kehilangan, khususnya ketika dihadapkan dengan puisi yang khas identitas tertentu. Pada akhirnya, wilayah eksplorasi puisi menjadi kian sempit, miskin estetika dan dangkal.

Secara umum yang terjadi dalam dunia perpuisian di Medan dewasa ini adalah terjebak pada perulangan-perulangan dengan wilayah kreativitas yang sama dengan para penulis puisi terdahulu.

Puisi Dairy

Mari kita amati puisi-puisi yang terbit di koran-koran Medan yang terbit setiap hari Minggu. Rata-rata puisi itu mengisahkan tentang suasana hati dengan diksi yang itu-itu saja. Akibatnya puisi-puisi itu tampak seragam, baik dari pilihan kata maupun nilai yang ada padanya. Jarang sekali ditemukan puisi yang berangkat dari sebuah gagasan yang matang. Dari idenya, kebanyakan semangat yang mendasari penulis semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan katarsis, tak ubahnya menulis sebuah diary.

Selain krisis estetika, secara umum sastra di Medan juga tumbuh tanpa identitas. Identitas yang saya maksud menyangkut gagasan dengan warna pengungkapan yang khas oleh sastrawannya. Apa jadinya jika sebuah produk kebudayaan, yang konon diolah melalui pengalaman batin dan impresi yang cukup dalam, dilahirkan tanpa arah tujuan. Tak heran jika puisi-puisi itu tampil dengan begitu "sederhana"nya.

Menurut saya, selain tuntutan pembaca Medan yang pragmatis, hal lain yang membuat puisi itu tampak "sederhana" karena penulis kita tak terbiasa dengan kerja eksperimentasi. Pertama, boleh jadi karena kemiskinan wacana penulisnya sendiri maupun pembatasan yang dilakukan oleh media massa. Tidak bisa dipungkiri media massa memiliki peran penting dalam hal ini. Media massa memiliki dua peran, baik sebagai "pencipta" iklim maupun sekedar "pemelihara".

Sebagai "pencipta" iklim media punya posisi penting untuk membentuk iklim baru dalam dunia sastra. Sebagai "pemelihara" iklim, kadang tanpa disadari, media sendiri yang membunuh daya kreativitas karena membiarkan karya-karya sastra itu tumbuh begitu saja, meski dengan apa adanya.

Kedua, motivasi menulis puisi belum dihayati sebagai cara penulis mewujudkan diri dalam kehidupan masyarakatnya. Rata-rata penulis Medan belum mampu melepaskan diri, sehingga tak merasa berkepentingan bagi orang banyak. Kepekaan penulis masih terbatas pada hal-hal yang menyangkut pribadinya. Boleh jadi hal ini disebabkan karena penulis kita tidak mengambil peran yang jelas dalam kehidupan bermasyarakat. Tak heran jika dalam kehidupannya ada jarak bahkan kontradiksi antara idealisme karyanya dengan perilaku keseharian. Pemurtadan terhadap karya inilah yang sering menjadikan sastrawan kehilangan keutuhan dirinya sendiri sekaligus berdampak buruk bagi iklim bersastra itu sendiri.

Mestinya, sentralisme yang ada pada seorang sastrawan dijadikan energi untuk kepentingan yang lebih besar, sehingga visi-misi itu selalu terlihat dalam karya-karyanya. Misi kemanusiaan yang memang belum populer di kalangan sastrawan kita ini, menurut saya juga hal penting yang sering diabaikan sastrawan. Sastra sebagai alat pencerahan masih belum dimaksimalkan dengan baik. Karenanya wajar jika karya sastra di Medan sering tak memuaskan kemanusiaan kita. Sepanjang sastrawan tak kembali pulang pada tugas "politik"nya itu, keragaman itu tak akan pernah tercipta.

Ketiga, dasar filsafat rata-rata penulis yang tak mapan. Bagaimanapun pendekatan filsafat dalam menulis puisi mutlak diperlukan.

Filsafat menjadikan puisi tak seperti menara gading, meski dengan kedalaman makna yang dia miliki. Kekuatan filsafat dalam puisi menjadikannya bernilai universal meski ditulis berdasarkan pengalaman empiris masing-masing pribadi yang beragam. Filsafat akan membantu seseorang mengapresiasi puisi yang ditulis dengan latar belakang psikologi dan budaya yang berbeda.

Dengan filsafat pula sebuah puisi bisa mengakomodir perasaan, persoalan dan kenyataan bersama yang dirasakan oleh orang-orang sekalipun dari berbagai belahan bumi. Pada akhirnya filsafat akan menjadikan seorang sastrawan tidak tercerabut dari kebudayaan global dengan lokalitas yang dimilikinya. Dalam kapasitas saya sebagai salah satu penjaga halaman sastra di salah satu koran Medan, saya sering mendapati puisi yang muatannya tak memiliki pijakan filsafat. Bagaimana mungkin ia akan berguna bagi orang lain?

Tak Mampu Beranalogi

Faktor lain yang membuat karya sastra Medan jadi seragam karena ketidakmampuan sastrawannya beranalogi yakni mengolah isu-isu dengan cara yang estetis. Harus diakui kegagalan para sastrawan Medan terutama terletak pada ketakberhasilan memindahkan realita ke dalam teks. Ditambah lagi dengan keengganan sastrawan Medan berkecimpung dalam dunia diskusi dan dialektika. Alhasil tak jarang suatu isu baru diangkat ketika sudah berlalu jauh. Dibanding dinamika sosial politik yang begitu progresif, karya sastra seakan tak mampu berbuat apa-apa. Isu-isu yang sedang berkembang seringkali luput dari apresiasi para sastrawan Medan. Ketika terjadi gejolak sosial di negeri ini, misalnya, para sastrawan Medan masih saja bicara soal "hujan" "malam" "airmata".

Jikapun ada yang menuliskan realita itu ke dalam bentuk puisi namun dengan analogi yang "terang-benderang". Sontak sastrawan kita kehilangan daya puitisnya. Berbeda ketika dia menulis puisi berdasarkan suasana hatinya itu.

Sudah waktunya sastrawan Medan kembali ke realita hidup masyarakatnya untuk mengungkap serta menjawab persoalan demi persoalan tidak hanya secara etis tapi juga bermakna.(Jones Gultom)

Tidak ada komentar: