Lahir di Medan, 21 Maret 1966. Puisi-puisinya hadir di sejumlah media cetak, surat kabar dan buku antologi: Waspada, Mimbar Umum, Analisa, Sumatera, Global, Andalas, ASA, DALAM KECAMUK HUJAN, TENGOK 4, AMUK GELOMBANG, JELAJAH, MEDAN PUISI, MEDAN SASTRA, MUARA TIGA, dll. Bergabung dalam komunitas FKS (forum kreasi sastra-Medan), LABSAS (laboratorium sastra), KSI (komunitas sastra indonesia-medan), GENERASI dan YA. Production. Bermukim di Desa Sampali, Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Mengikuti kegiatan sastra Temu Sastrawan Nusantara 1996, Dialog Utara Indonesia-Malaysia 2001, Temu Penyair Lima Kota Payakumbuh 2008, Temu Sastrawan Indonesia Jambi 2008. Bersama M. Raudah Jambak, Afrion, Djamal, S. Ratman Suras, Saiful Amri, dll, mengusung Komunitas HP (Home Poetry). Wakil Ketua di Lembaga Seni RUMAH KATA, Penyelaras Bahasa di Surat Kabar BATAK POS – Medan.
Dalam Rinduku
dalam rinduku teramat mendalam, seribu wajah terekam tatapku tak lepas, dari sebalik jendela kereta melintas
telah berbilang waktu berlalu,
kenangan masa lalu sebegitu menyatu
suatu perjalanan adalah guratan perasaan tak terulang,
namun tak kan terlupakan)
di atas kereta menderu seribu wajah menyatu dalam rinduku menggebu
(Medan – Rantau Prapat, 99)
Muntah
seekor kucing muntah di kursi
kucing-kucing lain berebut mencicipi
Lidah
sekerat lidah terletak di tanah
begitu kuraih tersembur sumpah serapah
Nanah
di depan mata kian memasyarakat
terpercik ke tubuh melekat erat
Narasi Diri /1/
matahariku luluh pada bentang layar malam
bebintang rapuh muram dalam kenangan silam
jarum detik terus berputar kitari lingkar waktu berlalu
detaknya mengetuki hati sepi. Aku teriak memaki,
tapi gema itu bagai deru hujan menjarumi
pergulatanku usai, meski pertarungan belum selesai
berkali berharap hanya sia menghampa
gelap tambah mendekap dan aku kian hilang arah pada lelangkah melelah
matahariku luluh dan malam mengkelam tubuh
berkali aku jatuh, berkali gapai simpuh tak jua utuh
aku tiada menyerah, tapi pasrah itu bagai deru angin menyembilu
Narasi Diri /2/
pada rentang empat puluh entah berapa sisa waktu di sebalik lembar almanak.
atau detak jam mulai mengetuki pintu
aduh, aku belum mampu merindu penuh, sebab simpuh tak jua utuh
selalu kuledakkan namaMu tanpa sajadah dan air mata salah
pada rentang empat puluh alpaku terus bertambah dalam resah amarah
Allah, Allah, aku ingin kembali selusuri jejak langkah memunguti karunia malu
Kota Laron
kotaku kota beribu laron menyerbu lelampu neon
dan merkuri seusai hujan senja hari
pabrik-pabrik memuntahkan pekerja,
anak-anak sekolah berhamburan penuhi badan jalan,
dan kemacetan adalah suguhan membosankan
ah, apalagi bisa dipertahankan ?
waktu sebegitu memburu
malam ini lelah harusnya tuntas
sebab esok kembali gegas kemas
tapi mimpi-mimpi selalu saja hadirkan cemas
Medan, 2008
Sketsa
sepanjang jalan wajah-wajah mengulum senyum renyah
merangkum janji-janji usang tiada pasti
menebar kata-kata hambar
senja tiba, kota merona dalam pesona segala warna
umbul-umbul, spanduk, baliho dan bendera
jadi atribut rebut simpati
konvoi kenderaan penuhi badan jalan
sorak-sorak massa mengoyak telinga
menghampa mata
cerita-cerita purba menjelma
legenda menjadi peristiwa nyata
gema lagu lama tanpa nuansa
(Medan, 2008)
MENCARI JAMBI/1/
aku mencari jambi dari sebalik mimpi
pada lembar-lembar puisi dimas, iriani, ari, hingga chori marbawi
berhari menyusuri lintas timur hancur lebur
aku menyeka be butir keringat mengalir dari gurat-gurat penat
dan di sini, di nadi jambi
riak-riak batang hari membisiki puisi-puisi sepi
aku memendam seribu rindu
pada diam kaku batu-batu candi
jambi masih menanti janji
sejuta kata memuisi diri berbingkai antologi
MENCARI JAMBI/2/
Sesaat lepas dari jerat geliat medan
kota beribu laron seliweran menyerbu lelampu neon
dan merkuri usai hujan senja hari
aku mencari jambi
kota yang menjelma pada mimpi
aku mengingat titas dan chori
pada bincang-bincang di ranah minang
“jangan tak datang, bang” terus mengiang
medan pun hilang dari pandang lesap dalam gelap malam
deru riuh bus sendu gugu menembus tubuh waktu
melintas tiang-tiang batas
aku mencari jambi melewati ramai sepi
tersuruk kantuk memeluk
mendera-dera pelupuk mata
jambi masih entah di mana
(Medan, 2008)
ILUSI /1/
ah, betapa aku ingin jadi embun
bening menetesi bunga hatimu
menjadi matahari cerah merona wajah
menjadi pelangi indah mewarnai hari
menjadi rembulan pada bola matamu
menjadi angin lembut membelai rambutmu
ah, betapa aku ingin menjadi puisi
menurani rasa cinta
ILUSI /2/
aku mencoba pahami tangis gerimis
menetesi helai helai daun
ada gelisah mengkecamuki hati
riak riak kecewa mengkristal duka
aku membaca tangis senja
mentari luruh menyentuh
membias sejumlah wajah meresah
malam membenamku dalam diam
aku mencari arti di hati sunyi
mengsketsa kembali sejuta puisi
dari sebalik lembar lembar mimpi
hingga fajar tiba mensuasana
segala rasa
ANDAI
di taman ini aku sendiri menghati sunyi
menari mimpi mimpi mencari arti
seribu puisi engkau beri
aku tak juga mengerti, sayang
makna serangkum senyum bibirmu
janji janji tiada bertepikah
atau kata kata pelipur lara
dan ketika pendar pelangi pudar
kau biarkan sunyi menikam senja
menyisa segala hampa di dada
ah, andai bisa aku dalami hati
memahami segala rasa segala apa
tiada kecewa mendera dera
meski derai gerimis menyisa tangis
pada beranda senja ini, sayang
(Sampali, 2008)
DEPAN PINTU
tibaku depan pintu
aku termangu
pintu yang dulu akrab
persilahkan masuk tanpa mengetuk
kini bak menyatu jadi tembok batu
sekian waktu berlalu bisu
di halaman tanpa taman
angin permainkan kerinduan
menyatu seribu jejak kenangan
memburu dalam tanya
“ah, kemana gerangan teman-teman?”
tibaku depan pintu
aku termangu
rinduku berbuah ragu
sekian waktu sunyi menjalari
mengetuki dinding hati
merenda tanya,
“masihkah mereka menanti di sini?”
tibaku depan pintu
aku termangu
rinduku dipupus ragu
hatiku membisu
( tbsu, 97)
Parodi Diri
sebegitu lesatkah matahari berlalu luluh?
tanpa hangat menggeliat tubuh
guyur hujan di dinihari menggerimis hingga pagi
gigil dingin masih memilin
kita hilang gegas dikemas malas
apa yang tersisa pada rentang siang?
rutinitas tak tuntas, resah tertumpah di jalan berbasah,
pesona pelangi menari mimpi, atau
kulik elang hilang peluang di ambang petang
pada beranda senja kita merenda kata
menyisa sejuta tanya hampa
“apa, mengapa dan bagaimana”
matahari melesap malampun mendekap
apakah kita masih berharap
mimpi membuai jadi berarti di esok hari
tapi mengapa pagi berkali kita khianati?
(2008)
MAHA BENCANA
inilah maha bencana sesungguhnya
ketika di mana-mana limbah meruah membuncah
mempolusi apa saja siapa saja
hari ke hari pabrik-pabrik industri
memuntah jutaan ton limbah organik dan non organik
parit, sungai, danau terkontaminasi
limbah kian melarut pekati laut
segala biota terancam binasa
dalam sampan nelayan diam muram
ikan-ikan menjauhi tepi pantai
mencari sarang, karena terumbu karang telah hilang
limbah bak arus terus menggerus
menggulung tak terbendung
air, tanah, udara diperkosa
apa yang kita rasakan, ketika
suhu bumi mulai meningkat saat lidah api menjilat
karena atmosfir nganga terkoyak
apa yang kita alami, ketika
badai radiasi matahari menggerogoti
kita bagai memabuk mimpi-mimpi buruk
melagu igau lalu kaku beku
tidakkah hati kita didebur debar
ketika hutan ditebang dan dibakar
orang utan kehilangan dahan gegayutan
harimau menceracau tak tentu tuju
rusa dan beruang lintang-pukang
badak dan gajah melangkah lelah menuju punah
burung-burung bersenandung murung
kupu-kupu dan kumbang terbang gamang
apa yang kita rasakan
ketika suhu bumi bertambah panas
hamparan salju beku pun mencair
meninggikan permukaan lautan
arus air deras mengalir membanjiri daratan
memporakporandakan tatanan kehidupan
apa lagi yang dapat kita lakukan
ketika virus penyakit terus mewabah
masihkah kita berpangku tangan
dan membiarkan peradaban musnah?
(Medan, 2009)
INI MEDAN, KAWAN
ini medan, kawan
kota menyimpan sejuta impian, selaksa harapan
kota di mana orang-orang memburu segala tuju
bagai beribu laron menyerbu lelampu neon
dan merkuri usai hujan senja hari
ini medan, kawan
tanah deli. tanah pernah tumpah keringat, air mata
dan darah para kuli, pekerja paksa dibawa belanda
dari jawa
sendu pilu membatu di perkebunan tebu dan tembakau
manis gula tebu harum aroma tembakau adalah
isak tangis rindu yang terbelenggu
ini medan, kawan
orang-orang saling gegas jalani rutinitas tak tuntas
ruang-ruang kota dipadati bebangunan
badan jalan disesaki kendaraan dan
kemacetan adalah suguhan paling membosankan
malam hari situasi bagai tak selesai
orang-orang tak henti menari mimpi gapai pelangi
di atas sungai deli bulan menyabit pucat pasi
tebing-tebing sungai menyempit dihimpit
dinding-dinding beton
pohon-pohon mati meranggas, karena akarnya ditebas
dedahan dipangkas biar pandangan bebas lepas
ditebang, agar tak menghalang tiang pancang
gedung-gedung menjulang
sungai deli kian merana, karena segala limbah
segala sampah muntah ke sana
inilah medan, kawan
guru patimpus kini jadi situs batu, bisu
istana maimoon jadi tempat melamun
titi gantung jadi saksi murung
rumah chong afie hanya menyisa mimpi
Konspirasi Angin
selalu angin memasung ragu di setiap rindu
membujuk, atau memaksaku melupakanmu
anginpun selalu pertemukan awan jadi gumpalan
membungkus indah rembulan, hingga
menitis tangis gerimis
seperti kali ini
matahari bagai tiada memulai pagi
mendung menggelayut dan bumi berselimut sepi
melupakanmu, berarti memungkiri nurani
menambah-nambah perih hati
selalu angin berlalu menyisa senyap di setiap harap
dan tanya tak terjawab
menghampaku hingga gelap kian menyekap
anginpun selalu permainkan dedaunan
gugurannya memupus lukisan pertemuan
konspirasi ini bagai angin mengawang harapan
menyisa angan-angan
menerawang bimbang
(2007)
SERENADA DIRI
/1/
waktu bergulir bagai air mengalir
seperti kelebat angin melesat
jangan bendung! sebab
gejolak resah kan tumpah
bak ombak menggulung
/2/
jangan pasung ragu di hati
mematung diri. melena pada fatamorgana
percuma saja jiwa dibenih gelisah
belum apa-apa memilih pasrah
Medan, 08
INTERIOR DIRI
: sedemikian jauh bentang ruang waktu ditempuh
beban lelah bertambah. aku menyusuri hari-hari
menuju pasti yang entah
HAMPA /1/
sepi pagi ini adalah titis gerimis tak henti
menderai dedaunan
resahku tumpah di tanah berbasah
gugur dedaunan menabur kenangan
bagai puisi-puisi mempelangi hati
menjelma fatamorgana
hanya hampa
HAMPA /2/
di sini segores senyum secuil tawa
sebegitu langka
selepas isya jerit tangis menggema
di antara talqin-doa
kesima seketika menghentak dada
ternyata kepergian yang pasti
tak mudah dimengerti
HAMPA /3/
sunyi kembali menjalari lantai koridor
dingin mengendap, aroma kematian masih mendekap
malam kian larut. jenazah berlalu sudah
menyisa tanya gelisah,
“pabila maut kembali menjemput?”
(RSH - Medan, 08)
SERENADA HATI
kembang warna putih
mekar tiga tangkai
dedaunannya bersih
dibasuh embun
dibelai angin
disapa mentari
kembang putih
tangkai dipetik
dedaun tersayat perih
lirih merintih
layu
mati…
(Sampali, 08)
ELEGI 1
ini sepi menyelimuti
di kamar tanpa mawar, aku terdampar
meringkuk disuruk rabuk batuk
ah, andai ini pintu diketuk dan kuterima salam sapa
aku ‘kan ke beranda bunga-bunga
tapi, mengapa malam memenjara semuanya
dalam diam menghampa?
ELEGI 2
dan senja pun tiba bersama duka. malam benam
dalam diam menyilam muram. gerimis pun menangis di sepi pagi
mimpi-mimpi masih membingkai hati
MONOLOG DIRI
di rentang empat puluh, entah berapa sisa waktu
di sebalik lelembar almanak. atau justru detak jam menunggu
aku belum jua mampu merindu, sebab simpuhku tak jua utuh
selalu kuledakkan namaMu, tanpa sajadah dan air mata salah
di rentang empatpuluh, alpaku terus bertambah dalam resah gelisah
Allah, Allah, ingin aku kembali seslusuri jejak lelangkah
menghapus segala salah
(032006)
MONOLOG DIRI /1/
Matahariku luluh pada bentang selaput malam bebintang rapuh memuram dalam kenangan masa silam. Jarum detik terus berputar kitari lingkar waktu berlalu. Detaknya mengetuki dinding sepi. Aku teriak memaki, tetapi gema itu bagai deru hujan menjamuri.
Permainanku usai, meski pertarungan belum selesai. Berkali berharap hanya sia-sia menghampa gelap tambah mendekap dan aku bagai hilang arah pada lelangkah melelah.
Matahariku luluh dan malam membungkus tubuh berkali aku terjatuh, berkali menggapai menyentuh tak jua utuh. Aku menyerah, tetapi pasrah itu bagai desau angin menyelimuti
MONOLOG DIRI /2/
Pada rentang empat puluhan entah berapa sisa waktu di sebalik lembar almanak, atau justru detak jam menunggu. Aku belum mampu merindu, sebab simpuh tak jua utuh. Selalu kuledakkan namaMu tanpa sajadah dan air mata bersalah.
Pada rentang empat puluhan alpaku terus bertambah dalam resah, amarah. Tuhan, ingin aku kembali selusuri jejak langkah memunguti karunia malu.
Deli Serdang, 05 – 07
SERENADA DIRI /1/
seperti matahari gairahmu tak henti
menjalari, meski senjaku telah tiba
pada langkah melelah
aku terbenam dalam malam membeku
kau terus memburu dalam cumbu menggebu
di ujung waktu hanya tersisa cemburu
SERENADA DIRI /2/
aku ingin selalu dicumbui
elusan lembut menjalari dari celah-celah
menggeliatku dari mimpi beku
darah gairahku mencair bulir-bulir keringat
dalam dekap hangat memacu semangat
di puncak panas membakar aku terkapar
dalam dahaga dan lapar, tapi
api cumbu belum henti aku dipacu kembali
hingga lelah mendekap di malam melelap
Deliserdang, 06 – 07
GEMURUH WAKTU MENYERGAP TAK BERJAWAB
tiada lagi tersisa bersama waktu berlalu
hanya gemuruh rindu terpendam dalam diam
kecamuknya menyiksa, ketika apa saja
menjelma jadi cerita pernah dirasa
aku menyendiri terperangkap senyap
sejuta kata merangkai bertubi tanya
menyergap tak terjawab, sebab selalu saja
diawali andai demi andai tak pasti
(Deli Serdang, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar