Minggu, 30 Oktober 2011

ARTIKEL MYR



Dunia Kesenian: Mempertanyakan Nurani dan Kepedulian
Oleh : M. Yunus Rangkuti

Pada 27 – 29 April 2008, penulis diundang panitia sebagai peninjau pada acara “Temu Penyair 5 Kota” di Payakumbuh, Sumatera Barat. Acara berlangsung sukses. Kesuksesan ini terlihat dari besarnya kepedulian Pemerintah Kota Payakumbuh, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Dewan Kesenian Daerah Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatera Barat, Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Payakumbuh, Universitas Andalas, Komunitas Seni Intro, serta antusias masyarakat setempat. Terlebih di Nagari Taeh, kampungnya Penyair Khairil Anwar. Ratusan masyarakat antusias mengikuti acara mengenang penyair ternama tersebut.
Kita mungkin berbangga hati membaca biodata Khairil Anwar yang dilahirkan di Medan. Apakah daerah ini merasa memiliki sastrawan tersebut? Setiap kali bulan April tiba, kegiatan apa yang kita laksanakan untuk mengenangnya? Masyarakat Nagari Taeh beserta jajaran Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, dan Pemerintah Sumbar telah menyatakan Khairil Anwar adalah penyair yang lahir dari daerahnya.
Besarnya kepedulian dan antusias pemerintah dan masyarakat daerah tersebut, merupakan hal yang hampir-hampir tak tampak di sini. Berkali even kesenian yang diselenggarakan di Medan khususnya, tampak sepi. Baik dari peserta, undangan, maupun masyarakat yang menyaksikan acara tersebut. Sementara pelaksanaan acara berlangsung seadanya, sebab kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan instansi yang terkait. Terutama dalam pendanaan.
Beberapa kali kegiatan yang seharusnya dilaksanakan harus molor dari jadwal, diundur tanpa kepastian, atau terpaksa dibatalkan, karena kesulitan dalam pendanaan dan fasilitas. Contoh kasus, ketika Medan ditetapkan sebagai tuan rumah “Temu Penyair se-Sumatera 2004”. Bertahun acara tersebut tak terlaksana. Baru terselenggara pada Desember 2007 lalu, disatukan dalam kegiatan “Temu Sastrawan se -Sumatera/ Sumatera Utara”.
Sesungguhnya kekurangpedulian bukan hanya terlihat di setiap kegiatan kesenian, namun semua hal terkait di bidang kesenian. Termasuk pelaku seni atau seniman yang sesungguhnya adalah asset. Seperti halnya olahragawan, politikus, tekhnokrat, atau kalangan bisnis. Padahal, banyak seniman Sumatera Utara yang karyanya telah mengharumkan Sumatera Utara di tingkat nasional dan internasional.
Bisa dikata, hanya seniman di bidang musik dan tari yang berkali merasakan “manisnya” kucuran dana pemerintah. Sedangkan seniman di bidang sastra, teater, lukis, dan kriya hanya sesekali mencicipi. Itu pun harus pontang-panting untuk meminta dana. Tahun-tahun belakangan ini Dewan Kesenian Sumatera Utara, Dewan Kesenian Medan dan daerah tingkat dua lainnya nyaris tak mampu melaksanakan kegiatan. Termasuk juga Taman Budaya Sumatera Utara, dikarenakan tak memiliki anggaran. Beberapa seniman yang diundang menghadiri kegiatan di daerah lain urung berangkat, karena kesulitan dana.
Pahitnya suasana berkesenian di Sumatera Utara sangat dirasakan para seniman dalam hidup dan kehidupannya, hingga akhir hayatnya. Satu dua menjalani masa tuanya terlunta-lunta. Di mana nurani dan kepedulian kita?
Masih membayang di mata kita kondisi penyair N A. Hadian yang sakit-sakitan menjelang akhir hayatnya. Beliau bahkan beberapa hari “terdampar” di pelataran musholla TBSU. Hanya seniman yang peduli padanya. Tiada uluran tangan pemerintah daerah membantu biaya perobatannya. Setelah beliau meninggal, penghargaan apa yang telah diberikan padanya? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya?
Kondisi-kondisi yang hampir sama juga dialami dialami seniman kita yang telah meninggal, ataupun saat ini sakit-sakitan. Dunia kesenian kita berkali berkabung, disaat senimannya meninggal dunia. Buoy Hardjo, Maruli Simbolon, Amiruddin AR, Danil Eneste, Rusli A. Malem, Lazuardi Anwar, Sirto Yono, Monos Ra, M. Yunus Matondang, Tantowi Yunus, Slamet Khairi, Usman Al Hudawy,dan Raswin Hasibuan. Mungkin hanya seniman, keluarga, kerabat dan tetangga yang peduli dan sangat merasa kehilangan.
Apakah kondisi seperti ini dirasakan juga di daerah lain? Mungkin saja sama, atau malah sebaliknya. Mereka para seniman justru sebegitu dipeduli oleh pemerintahnya. Seorang sastrawan Medan, pernah menulis tentang sastrawan ternama Propinsi Riau mendiang Idrus Tintin, ketika beliau menderita sakit. Dia menceritakan betapa tingginya kepedulian masyarakat Riau dari berbagai kalangan. Termasuk juga dari Sumatera Barat dan Sumut.
Mulai dari gubernur, walikota, wakapolda, Rektor Universitas Negeri Riau, pejabat pemerintah setara lainnya hadir membesuk Idrus Tintin di rumah sakit. Kepedulian dan simpati yang dalam juga diperlihatkan kalangan budayawan dan seniman Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Dari Medan, seorang pejabat mengirim bantuan alat perobatan. Bagi sebagian besar masyarakat Riau, Idrus Tintin adalah sosok seniman yang pantas dihormati.
Ah, kepedulian seperti itu sesuatu yang langka di sini.



Balai Bahasa Medan : Keberadaan dan Peran
Oleh: M. Yunus Rangkuti
“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta,” sesungguhnya bukan ungkapan perasaan sederhana belaka. Ungkapan tersebut justru merupakan pondasi yang kuat untuk sebentuk peningkatan kemajuan pembangunan. Mengandung daya dinamis dan rasa optimis untuk menepis sikap-sikap pesimis. Dalam lingkup pergaulan orang per orang, antar instansi, bahkan hubungan internasional, justru ungkapan tersebut sering dinafikan. Berkali kita merasa tertepi, karena tak dipeduli. Selalu terjadi salah komunikasi dan persepsi di instansi. Negara kita pun selalu tertinggal dalam segala bidang.
Berkali survey mengenai kondisi kehidupan masyarakat diselenggarakan, selalu saja menuai hasil menyedihkan. Tingkat kemiskinan masih saja tinggi. Kondisi kesehatan sedemikian buruk. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Kinerja aparat pemerintah masih lemah. Kondisi ini diperparah oleh situasi keamanan masih belum dirasakan.
Apakah kita menyadari kenyataaan itu? Mungkin kita justru berada pada situasi memasrah diri. Merasakan dan menjalani kehidupan dengan segala keluh kecewa. Tak mengerti mengapa terjadi dan tak mampu mencari solusi memperbaiki kondisi. Kebodohan telah mengunci hati untuk percaya diri dan bersikap mandiri.
Menafikan makna, “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” justru sebentuk kebodohan. Pada era globalisasi yang ditandai kecanggihan teknologi komunikasi, masihkah kita berdiam diri atau menari mimpi tak pasti?
Sesungguhnya Negara kita ini dianugerahi sumber kekayaan alam, adat istiadat dan budaya, yang jika dikelola dengan benar akan sangat bermamfaat bagi kehidupan. Untuk pengelolaan dan pemamfaatannya, telah dibangun segala sarana, prasarana dan fasilitas. Didirikan banyak lembaga instansi dan institusi. Masalahnya, kita banyak tak tau atau tak mau tau untuk memamfaatkan keberadaannya. Sebaliknya, banyak juga lembaga instansi dan institusi yang terkesan tertutup atau mempersulit masyarakat dalam memamfaatkan keberadaannya. Bahkan, untuk sekedar mencari dan mendapatkan informasi.
Keberadaan Balai Bahasa Medan sebagai Unit Pelaksana Teknis Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, mungkin belum banyak diketaui lapisan masyarakat Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya. Baik secara lokasi, mamfaat, peran dan program yang telah dilaksanakan Padahal, secara Visi dan Misi memiliki tujuan strategis untuk kemajuan bangsa Indonesia . Visi Pusat Bahasa adalah “Terwujudnya lembaga penelitian yang unggul dan pusat informasi serta pelayanan yang prima di bidang kebahasaan dan kesastraan dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang berwibawa dan bahasa perhubungan luas tingkat antarbangsa.”
Misi Pusat Bahasa meliputi (1) peningkatan mutu bahasa dan sastra, (2) peningkatan sikap positif masyarakat terhadap bahasa dan sastra, (3) pengembangan bahan/ sarana informasi kebahasaan dan kesastraan, (4) peningkatan mutu tenaga kebahasaan dan kesastraan, (5) pengembangan kerja sama, dan (6) pengembangan pengelolaan kelembagaan.
Mendasari visi dan misi tersebut, timbul pertanyaan, “Telah berperankah Balai Bahasa Medan?” Pertanyaan ini hendaknya jangan dijawab putus dengan “telah” atau “belum” semata, namun disikapi secara arif. Pertanyaan ini bisa luas menjangkau banyak hal. Apa-apa program yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Bentuk-bentuk publikasi dan pelayanan tersedia. Hasil yang telah dicapai, bentuk-bentuk kendala ditemui, dan juga kegagalan yang terjadi.

LEBIH OPTIMAL
“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” mungkin belum jadi pondasi keberadaan Balai Bahasa Medan. Termasuk juga sosok para pegawainya sebagai pelaksana teknis. Lokasi Balai Bahasa Medan masih banyak masyarakat yang tak tau. Tentunya ini akan terkait dengan ketidaktauan mereka secara luas akan keberadaan Balai Bahasa Medan. Membiarkan situasi seperti ini akan mempersulit peran Balai Bahasa Medan dalam pelaksanaan visi dan misi.
Untuk itu, kinerja pegawai Balai Bahasa Medan dituntut lebih optimal. Aktif dalam pensosialisasian, tidak bersikap pasif. Sosialisasi keberadaan dan peran Balai Bahasa Medan hendaknya lebih diarahkan ke masyarakat luas. Ada banyak cara yang mudah dilaksanakan. Misalnya: penyebaran brosur, penerbitan yang diberikan secara gratis, menyelenggarakan festival dan lomba tentang bahasa dan kesastraan. Peningkatan minat baca di tingkat sekolah dasar dan menengah dan masyarakat pedesaan.
Kerjasama dengan media cetak dan elektronik, instansi searah, institusi pendidikan, lembaga seni dan budaya, kelompok belajar masyarakat pedesaan, dan tentunya kerelaan pegawainya, jika ditugaskan ke daerah terpencil sekalipun
Apakah hal-hal tersebut telah terlaksana? Jawabannya terpulang pada Balai Bahasa Medan. Jika hasil-hasil yang dicapai selama ini belum menggembirakan, artinya masih banyak hal yang perlu pembenahan.
(Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Essay Peran Balai Bahasa Medan)

Tidak ada komentar: