Minggu, 30 Oktober 2011

Cerpen MYR (1)


Maha Ada di Suka Duka Jiwa


Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.

Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali. Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka. Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa justru melupa di saat Suka telah kembali berada. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.

Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.

“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.

“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”

Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?” Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.

Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?”

“Ampuni daku Maha.”

“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.”

Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi tanya.
“Duka, bantulah daku menemukan Suka.”

“Bukankah seluruh yang berada di sekitarmu adalah Suka?”

“Daku menginginkan Suka dalam sebentuk penuh pesona.”

“Berupayalah Jiwa.”

“Upaya bagaimana daku lakukan? Daku merasa sebegitu hampa.”

“Selalulah mengingat pada Maha.”

“Bagaimana caranya?”

“Bersamaku kau kan selalu mengingat.”

Jiwa pun berjalan bersama Duka. Melangkah menyusuri sungai, menempuh rerimba belantara, mendaki perbukitan, dan menuruni lelembah. Berhari, berbulan, bahkan bertahun. Lalu pada satu waktu di satu tempat datar meluas, Jiwa akhirnya bersua Suka yang pernah mempesonanya. Jiwa dan Suka kembali bersatu.

***

Waktu terus berlalu. Jiwa bertebaran di mana-mana. Saling berlomba memperebutkan Suka. Sesama Jiwa bertikai, berperang, dan saling bunuh untuk mendapatkan Suka Demi Suka Jiwa kembali melupa Maha. Berkali Maha menegur Jiwa melalui Duka, namun hanya sesaat Jiwa mengingat Maha.
Jiwa merasa telah memiliki Suka sepenuhnya. Jiwa justru menganggap telah mencipta Suka. Untuk itu Jiwa berhak sepenuhnya akan keberadaan Suka. Jiwa telah melupakan perjanjiannya di hadapan Maha.

Jiwa kecewa, ketika Maha mengambil sebagian atau sepenuh Suka darinya. Ketika Maha menebar Duka, Jiwa merasa teraniaya. Jiwa tak bias menerima. Bagi Jiwa Duka hanyalah fenomena biasa yang segera sirna. Ketika Duka berkepanjangan, Jiwa berkeluh resah. Jiwa tak bisa menerima. Jiwa protes, mempertanyakan Maha:

Maha,
Duka ini milikmu
Mengapa daku harus merasa?

Maha tak lagi langsung berkata mengingatkan Jiwa. Maha tak lagi menegur lewat kata-kata. Sejak awal Maha telah memperingatkan Jiwa. Bagi Maha segelintir Jiwa yang mengingat, adalah lebih utama. Merekalah Jiwa-Jiwa mulia. Jiwa-Jiwa yang kelak berhak menikmati Suka sepenuhnya.

Ingatlah Jiwa,
Saat Duka engkau rasa Sesungguhnya aku menyapa
Mengapa engkau melupa?

Maha tetap mempertahankan Duka pada Jiwa. Melalui Duka, Maha memperingatkan Jiwa yang berlomba memperebut Suka. Bermanja atau justru membanggakan Suka. Entah mengapa, berjuta Jiwa tak juga bisa menerima akan Duka. Di kala Suka Jiwa melupa Maha, di kala Duka Jiwa mempertanyakan Maha.

“Maha, Maha! Mengapa Duka selalu mendera?”

Jiwa selalu merasa Duka jadi penyebab terengutnya Suka. Di kala Duka kian terasa, Jiwa-Jiwa berlomba enyahkan Duka. Seakan Duka tiada dan tak perlu ada. Bukannya memakna, mengapa tercipta Duka. Mengapa Maha Hadirkan Duka?

Satu waktu jiwa kembali bertanya pada Maha:

Di mana engkau
Rupa tiada*

Jiwa sebenarnya tak merindu Maha. Jiwa tak bisa menerima kehilangan Suka. Entah kenapa, Jiwa sebegitu mudah melupa atau tak menerima bahwa Maha adalah segalanya. Maha berada di mana saja. Pada Suka maupun Duka. Maha ada di Suka Duka Jiwa.

****

*Dari Padamu Jua, Amir Hamzah


Medan, 0508


Mai Tak Lagi Menuai Tangis

Mai tidak mungkin menolak keputusan yang diambil pihak keluarga dan sidang hukum adat di desanya. Sebagai perempuan dan kakak, Mai harus datang meminta maaf pada keluarga yang anak gadisnya telah diperkosa. Adik laki-laki Mai yang masih remaja, dituduh sebagai pelaku pemerkosaan tersebut. Meski tuduhan tersebut tidak didasari bukti yang kuat, pihak keluarga si gadis bersama dewan adat desa bersikeras si pelaku adalah adiknya.

Ditemani oleh ayah dan pamannya, Mai mendatangi desa keluarga gadis tersebut. Di desa tersebut mereka menemui sidang hukum adat yang tak lengkap, karena kurang dari jumlah anggota dewan adat yang telah ditentukan. Meski permintaan maaf mereka telah diterima, Mai beserta ayah dan pamannya menerima perlakuan tidak simpatik. Tak berapa jauh dari tempat tersebut, abang si gadis bersama lima temannya menangkap Mai.

Mai meronta dan menjerit sekuatnya, tapi sia-sia. Tangan-tangan kekar enam laki-laki tersebut begitu erat memegangi lalu secara paksa menyeretnya. Raungnya seakan tak didengar banyak laki-laki lain di sekitar itu. Ayah dan pamannya hanya bisa menghiba-hiba, tanpa mampu mencegah. Todongan senjata membuat keduanya tak berkutik. Batin mereka bagai dicabik mendengar jerit tangis kesakitan Mai diperkosa beramai-ramai.

Sejam berlalu, Mai baru dibebaskan dengan tubuh nyaris telanjang. Ayahnya segera mendekap dan bergegas membawa pergi. Sepanjang perjalanan pulang ke desa mereka, ratusan orang menyaksikan tanpa peduli, apalagi bersimpati.

***

"Demi Allah, sedikitpun tak ada maksud di hatiku akan terkenal dari peristiwa menyakitkan ini. Lebih baik bagiku hidup seadanya bersama kehormatan terpelihara. Berjuta simpati sekalipun, tak akan mengembalikan kesucianku. Tuduhan itu sebegitu picik! Namun aku berusaha untuk tegar, agar tidak semakin menambah beban penderitaan yang kurasakan. Aku tidak akan berhenti berjuang menuntut keadilan atas perkosaan yang kualami, walau berbagai rintangan dan bahaya sekalipun akan kutemui."

Walau batinnya menangis, Mai berusaha menyembunyikan kenyataan itu dari wajahnya. Mai tidak ingin sorot kamera akan memperlihatkan dirinya perempuan yang lemah. Telah sebegitu lama kaum perempuan di negeri ini dianggap sebagai makhluk lemah. Selalu diposisikan sebagai masyarakat kelas bawah. Hukum adat yang berlaku di desanya dan seluruh desa lainnya, cenderung menguntungkan kaum laki-laki atau berpihak pada yang lebih tinggi derajatnya.
Pelaksanaan hukum adat bukan hanya sebatas merugikan kaum perempuan, namun sudah banyak menimbulkan korban. Pada kasus perkosaan umpamanya, tak terhitung perempuan yang jadi korban perkosaan dipaksa untuk mati atau terpaksa memilih kematian. Masyarakat memandang mereka sebagai perempuan hina dan tak layak untuk hidup. Mereka tak lagi mendapat tempat di desanya. Dikucilkan, bahkan diusir. Mereka tak mungkin lari ke desa lainnya, sebab masyarakat di desa tersebut pasti mengusirnya. Beribu perempuan korban perkosaan lari ke kota, dan di kota nyaris tak punya pilihan, kecuali menjadi pelacur.

Mai tidak terima kenyataan pahit yang dialaminya. Mai tidak ingin batinnya terus menangis, sementara keenam pelaku bebas berkeliaran memperlihatkan tawanya. Mai bertekad untuk melawan. Hatinya sudah bulat.

"Bagaimanapun caranya akan kutempuh berjuang menuntut keadilan lewat jalur hukum. Aku tau, keluargaku sangatlah khawatir akan bahaya yang bisa saja terjadi padaku dan pada mereka sendiri. Aku ingin keenam laki-laki biadab itu dihukum mati. Aku pun ingin kaum perempuan akan lebih berani menuntut keadilan dan tidak selalu dibayangi rasa ketakutan."

Selang beberapa waktu setelah peristiwa perkosaan tersebut, keluarga Mai telah mengadukan hal itu kepada pengadilan negeri. Inisiatif ini datangnya dari seorang pemuka agama yang mengetahui latar belakang persoalan dan keterlibatan dewan adat desa yang justru menjerumuskan Mai. Pemuka agama tersebut juga menceritakan peristiwa itu pada seorang wartawan. Wartawan tersebut belum bermaksud memuat kisah Mai di surat kabarnya, namun menyarankan pada pihak Mai mengadu ke kepolisian.

Kepolisian menanggapi hal ini dan segera menangkap para pelaku. Pada putusan tingkat pertama, hakim pengadilan negeri menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap keenam pelaku, berdasarkan bukti medis dokter. Namun entah didasari pertimbangan apa, pengadilan tinggi justru membebaskan pelaku.

Mai dan keluarganya dikecamuki berbagai perasaan mendengar putusan tersebut. Kaget, marah, kecewa, sedih, bahkan takut campur aduk. Mai tidak bisa menerima keputusan itu. Hatinya merasa terbakar, apalagi selepas sidang para pelaku dan keluarganya melontarkan hinaan, bahkan ancaman pada dirinya. Mai bertekad mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Putusan janggal pengadilan tinggi tersebut diberitakan surat kabar. Dan kisah tentang Mai, bagai cerita bersambung menghiasi lembar surat kabar sebulan lebih. Televisi dan radio pun memberitakan.

Pemberitaan gencar tersebut mengundang reaksi organisasi hak asasi manusia dan kelompok feminis. Hujatan demi hujatan kepada pelaku pemerkosaan tak berhenti dilontarkan. Demikian juga protes selalu ditujukan kepada pengadilan. Sementara itu di hampir seluruh penjuru negeri, muncul banyak unjuk rasa setiap hari. Hujan simpati tak henti disampaikan kepada Mai.

Dunia Intenasional pun mengikuti perkembangan tersebut. Organisasi Perempuan se-Dunia menyampaikan undangan kepada Mai. Pada Konferensi Perempuan se-Dunia yang berlangsung di Spanyol, Mai hadir dan tampil di hadapan peserta konferensi mengkisahkan peristiwa tragis yang dialaminya.

Sekembali ke negerinya, Mai diterima oleh presiden. Setelah mendengar secara langsung dari Mai dan mempertimbangkan gencarnya reaksi masyarakat juga tekanan dunia internasional, presiden segera memerintahkan kepolisian untuk menangkap kembali para pelaku. Kepolisian harus melindungi keselamatan Mai dan keluarganya. Memerintahkan pihak pengadilan merancang secara khusus tempat sidang, sebab terbetik kabar akan ancaman pembunuhan terhadap Mai, jika berani tampil di persidangan.

Di hadapan kamera yang menyorotnya Mai tetap berusaha tampak tegar.

"Aku tau ini berbahaya. Hidup kami terus dibayangi ketakutan. Namun bagaimanapun, aku tak mungkin diam atau pasrah, sebab akan memperberat beban penderitaan yang kurasakan. Aku tak akan menempuh jalan pintas untuk lepas dari penderitaan ini lewat kematian, seperti yang sering terjadi selama ini. Telah begitu banyak perempuan yang bemasib buruk sepertiku memilih bunuh diri, karena terus-menerus dihina.

Aku harus hidup! Andaipun aku dipaksa mati, aku telah berusaha berjuang menuntut keadilan. Perjuanganku ini bukan hanya untukku, namun untuk semua kaum perempuan. Aku berharap kelak hukum akan dilaksanakan seadil-adilnya. Tidak berpihak atau menguntungkan kaum laki-laki, orang kaya atau mereka yang lebih tinggi derajatnya.

Pada kesempatan ini aku mengucapkan rasa terima kasihku pada semua pihak yang merasa peduli dan simpati kepadaku. Meski semuanya itu tidak akan mengembalikan keutuhan yang pernah kumiliki, semakin menyemangati dan membuatku lebih berani.

Secara pribadi aku kembali menyampaikan rasa terima kasih kepada Yang Mulia Presiden atas penerimaannya, ungkapan simpatinya, serta bantuan yang diberikan kepadaku. Beliau berjanji untuk lebih memperhatikan kondisi sosial kehidupan masyarakat di pedesaan. Beliau menugaskan aparat pemerintahan di daerah dan di pedesaan untuk lebih mengawasi pelaksanaan hukum adat.

Aku yakin presiden akan memenuhi janjinya tersebut. Namun semua itu tidak akan mudah, tanpa adanya peran dari kita semua dalam memperbaiki keadaan. Untuk itu uang bantuan yang kuterima kuperuntukkan membangun dua gedung sekolah dasar. Satu gedung untuk murid perempuan dan gedung yang satu lagi untuk murid laki-laki.

Menurutku, pendidikan merupakan jalan terbaik untuk meraih perubahan sosial. Aku berharap kelak dari sekolah tersebut lahir generasi-generasi trampil yang mampu memajukan desa dan negeri kita ini. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya."

***

Kini di desa tersebut telah berdiri dua gedung sekolah dasar. Menteri Pendidikan berkenan hadir dan meresmikan sekolah dasar tersebut. Pemerintah menjamin akan menggratiskan biaya pendidikan bagi seluruh murid. Masyarakat menyambut gembira dan berterima kasih. Namun masyarakat lebih berterima kasih kepada Mai yang dianggap sangat berjasa, meski dibarengi pengorbanannya yang mahal. Sebagai ungkapan simpati dan terima kasih, masyarakat sepakat menetapkan nama Mai sebagai nama dari sekolah dasar tersebut.


Sampali, Juni 2005







Ia (Lelaki tak Sesekali Menghati Benci)

Jangan beranggapan hubungan kami adalah perselingkuhan. Ia tak serendah itu. Ia bukan petualang. Bukan hidung belang yangsenang gonta-ganti pasangan. Musang berbulu ayam. Berpura akrab, justru pasang perangkap. Ia tak bermaksud merusak rumah tanggaku. Sebaliknya, ia juga tidak ingin tampil dan dianggap sebagai pahlawan menyelamatkanku dari prahara melanda. Baginya dalam konteks ini, perusak atau pahlawan sama saja.
Ketulusannya mencintaiku pada gilirannya meluluhkan hatiku. Aku tak mampu bertahan untuk mengungkap apa yang kini kurasakan. “Aku pun mencintaimu.” Itu kuutarakan padanya saat iamenghubungiku. Tepat sebulan setelah ia mengungkap perasaan cintanya padaku. Dan selama sebulan itu setiap kali kami bertemu tak pernah ia menyinggung dan mendesakku untuk memberi jawaban. Padahal aku telah berjanji untuk tak mengungkap perasaanku itu padanya. Biarlah bersemi dan tersimpan di hati. Itu lebih baik dan abadi selamanya. Mungkin kalian anggap aku tak berkepastian dalam hal ini. Jiwaku tengah labil. Baru kemudian aku menyadari akibat dari kesalahan melepas anak panah dari busur. Aku telah melukai perasaan suamiku. Hatinya tentu hancur, justru disaat suamiku mencoba memperbaiki sikapnya demi keutuhan kembali rumah tangga kami.

***
Jadi sekali lagi tolong jangan bebani aku dengan vonis salah. Keputusanku untuk tak menghubungi dan kembali betemu dengannya, memang tak sepenuhnya dating dariku. Itu adalah komitmen antara aku dan suamiku setelah kuceritakan segalanya. Suamiku pun telah menyadari sikap salahnya telah mengkondisikan diriku. Aku yakin, lelaki yang tulus mencintaiku itu, akan dapat memahami dan menerima kenyataan. Ia lelaki yang tegar, meski sesaat hatinya pasti kecewa dalam siksa rindu kehilangan diriku. Ia lelaki yang berkali merasakan luka-duka. Tapi, ia juga lelaki yang tak pernah menyimpan benci, apalagi dendam di hati.


(Kota Pinang, 06-08)



Duka Tia

Tiada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati. Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan. Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya. Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.” Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana.
“Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah. Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu. Saat berdiri, seseorang tiba-tiba saja telah berada di hadapannya.“Yuri!” seru Tia kaget.
Yuri tersenyum tipis. Mengulurkan tangan dan berkata, “Abang sebegitu merindukanmu.”
Dingin angin berkelebat seketika. Tia merasakan kedinginan itu pada genggaman Yuri. Betapa Tia ingin menyahut mengungkap kerinduan yang juga ia rasakan. Entah mengapa bibirnya justru terkatup. Yuri tau dan menyadari apa yang Tia rasakan. “Tak perlu menjawab, dik. Abang mengerti, waktu telah tiba. Satu permintaan abang, jangan sesekali adik berpaling. Melangkahlah.”
Bel berbunyi, ketika Tia berada di depan gerbang lembaga pendidikan tempatnya mengajar. Hatinya tertanya akan ucapan Yuri. Apa yang dimaksud Yuri, jangan sesekali berpaling? Tia menoleh, tapi Yuri tak lagi ada dilihatnya. Secepat itukah Yuri pergi? Seperti sekelebat angin. Tia seakan merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa?
Hampir sepenjang jam mengajar gelisah menderanya. Tia kehilangan konsentrasi. Selalu saja ia teringat Yuri. Yuri seperti hadir di hadapannya. Tia meraih hp coba menghubungi telepon rumah Yuri. Dua kali yang terdengar hanya nada sibuk. Tia menunggu beberapa saat, lalu mencoba kembali. Lagi-lagi nada sibuk terdengar.
Tia memutuskan menghubungi Sujadi, sahabat Yuri sesama penulis. Menceritakan sekilas pertemuannya dan kegelisahan yang tengah dirasakannya.
“Kemarin kami masih bertemu. Selepas magrib Yuri beranjak pergi tanpa mengatakan hendak ke mana. Hanya ‘ Ada janji yang mesti kutepati,’ sahutnya. Hanya itu, dik.”
“Coba abang upayakan menghubunginya. Jika ada khabar, sampaikan pada Tia ya.”
Dalam ruangan terjadi keriuhan. Murid-murid berteriak bukan lantaran mendengar bel usai jam pelajaran. Mereka heboh mengerumuni Bu Tia yang tiba-tiba terkulai tak sadarkan diri. Sebelum bunyi bel mereka mendengar bunyi hp dan melihat Bu Tia mengeluarkan hp dari tas. Seorang staf pengajar yang meraih hp itu dan membaca pesan singkat yang tertera.
***
Tia berupaya tegar melangkah memasuki rumah duka yang disesaki pentakziah. Ia terisak dan matanya sedemikian sembab. Jenazah Yuri berlapis kain kafan terbujur di hadapannya. Tangis sanak keluarga pecah tak tertahan saat diberi kesempatan terakhir melihat wajah Yuri. Tia merasa tubuhnya sedemikian ringan. Bagai mengambang. Nyaris tak dirasakannya jemari mungil gadis kecil menggamit lengannya.
“Ibu Tia, ya? Papa pernah memperlihatkan photo ibu. Papa berjanji akan mempertemukan ibu pada Yuni. Kata papa…”
Tia sontak merangkul gadis itu. Membelainya dalam tangisan. Keharuan kian menjalari ruangan. Prosesi pelepasan dan keberangkatan jenazah Yuri kini tiba pada penyampaian kata-kata takziah. Penawar duka bagi sanak keluarga yang yang ditinggal. Namun duka adalah sebentuk perasaan yang sebegitu cepat menjalari hati, lalu mengendap di dasar paling dalam. Itu yang dirasakan segenap pentakziah. Apalagi di saat Sujadi yang mewakili sahabat almarhum, membacakan puisi:
“terhenyak di duka menyentak
kita baru saja bersamabercerita
hingga lelangit malam memuram
kita pun beranjak
pagi tiba bersama sepenggal berita kau telah tiada
tiada pertanda, meski berkali puisimu menuang rindu abadi

sehelai kain merah terpacak, perkabungan pun merebak
sahabat, menatapmu dalam diam
duka ini serasa kian mendalam
kini kau pergi penuhi janji abadi

selamat jalan sahabat
di hati kami,
kau tetap dekat karyamu selalu melekat

Medan , 0608

Tidak ada komentar: