Lahir di Medan, 21 Maret 1966. Puisi-puisinya hadir di sejumlah media cetak, surat kabar dan buku antologi: Waspada, Mimbar Umum, Analisa, Sumatera, Global, Andalas, ASA, DALAM KECAMUK HUJAN, TENGOK 4, AMUK GELOMBANG, JELAJAH, MEDAN PUISI, MEDAN SASTRA, MUARA TIGA, dll. Bergabung dalam komunitas FKS (forum kreasi sastra-Medan), LABSAS (laboratorium sastra), KSI (komunitas sastra indonesia-medan), GENERASI dan YA. Production. Bermukim di Desa Sampali, Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Mengikuti kegiatan sastra Temu Sastrawan Nusantara 1996, Dialog Utara Indonesia-Malaysia 2001, Temu Penyair Lima Kota Payakumbuh 2008, Temu Sastrawan Indonesia Jambi 2008. Bersama M. Raudah Jambak, Afrion, Djamal, S. Ratman Suras, Saiful Amri, dll, mengusung Komunitas HP (Home Poetry). Wakil Ketua di Lembaga Seni RUMAH KATA, Penyelaras Bahasa di Surat Kabar BATAK POS – Medan.
Dalam Rinduku
dalam rinduku teramat mendalam, seribu wajah terekam tatapku tak lepas, dari sebalik jendela kereta melintas
telah berbilang waktu berlalu,
kenangan masa lalu sebegitu menyatu
suatu perjalanan adalah guratan perasaan tak terulang,
namun tak kan terlupakan)
di atas kereta menderu seribu wajah menyatu dalam rinduku menggebu
(Medan – Rantau Prapat, 99)
Muntah
seekor kucing muntah di kursi
kucing-kucing lain berebut mencicipi
Lidah
sekerat lidah terletak di tanah
begitu kuraih tersembur sumpah serapah
Nanah
di depan mata kian memasyarakat
terpercik ke tubuh melekat erat
Narasi Diri /1/
matahariku luluh pada bentang layar malam
bebintang rapuh muram dalam kenangan silam
jarum detik terus berputar kitari lingkar waktu berlalu
detaknya mengetuki hati sepi. Aku teriak memaki,
tapi gema itu bagai deru hujan menjarumi
pergulatanku usai, meski pertarungan belum selesai
berkali berharap hanya sia menghampa
gelap tambah mendekap dan aku kian hilang arah pada lelangkah melelah
matahariku luluh dan malam mengkelam tubuh
berkali aku jatuh, berkali gapai simpuh tak jua utuh
aku tiada menyerah, tapi pasrah itu bagai deru angin menyembilu
Narasi Diri /2/
pada rentang empat puluh entah berapa sisa waktu di sebalik lembar almanak.
atau detak jam mulai mengetuki pintu
aduh, aku belum mampu merindu penuh, sebab simpuh tak jua utuh
selalu kuledakkan namaMu tanpa sajadah dan air mata salah
pada rentang empat puluh alpaku terus bertambah dalam resah amarah
Allah, Allah, aku ingin kembali selusuri jejak langkah memunguti karunia malu
Kota Laron
kotaku kota beribu laron menyerbu lelampu neon
dan merkuri seusai hujan senja hari
pabrik-pabrik memuntahkan pekerja,
anak-anak sekolah berhamburan penuhi badan jalan,
dan kemacetan adalah suguhan membosankan
ah, apalagi bisa dipertahankan ?
waktu sebegitu memburu
malam ini lelah harusnya tuntas
sebab esok kembali gegas kemas
tapi mimpi-mimpi selalu saja hadirkan cemas
Medan, 2008
Sketsa
sepanjang jalan wajah-wajah mengulum senyum renyah
merangkum janji-janji usang tiada pasti
menebar kata-kata hambar
senja tiba, kota merona dalam pesona segala warna
umbul-umbul, spanduk, baliho dan bendera
jadi atribut rebut simpati
konvoi kenderaan penuhi badan jalan
sorak-sorak massa mengoyak telinga
menghampa mata
cerita-cerita purba menjelma
legenda menjadi peristiwa nyata
gema lagu lama tanpa nuansa
(Medan, 2008)
MENCARI JAMBI/1/
aku mencari jambi dari sebalik mimpi
pada lembar-lembar puisi dimas, iriani, ari, hingga chori marbawi
berhari menyusuri lintas timur hancur lebur
aku menyeka be butir keringat mengalir dari gurat-gurat penat
dan di sini, di nadi jambi
riak-riak batang hari membisiki puisi-puisi sepi
aku memendam seribu rindu
pada diam kaku batu-batu candi
jambi masih menanti janji
sejuta kata memuisi diri berbingkai antologi
MENCARI JAMBI/2/
Sesaat lepas dari jerat geliat medan
kota beribu laron seliweran menyerbu lelampu neon
dan merkuri usai hujan senja hari
aku mencari jambi
kota yang menjelma pada mimpi
aku mengingat titas dan chori
pada bincang-bincang di ranah minang
“jangan tak datang, bang” terus mengiang
medan pun hilang dari pandang lesap dalam gelap malam
deru riuh bus sendu gugu menembus tubuh waktu
melintas tiang-tiang batas
aku mencari jambi melewati ramai sepi
tersuruk kantuk memeluk
mendera-dera pelupuk mata
jambi masih entah di mana
(Medan, 2008)
ILUSI /1/
ah, betapa aku ingin jadi embun
bening menetesi bunga hatimu
menjadi matahari cerah merona wajah
menjadi pelangi indah mewarnai hari
menjadi rembulan pada bola matamu
menjadi angin lembut membelai rambutmu
ah, betapa aku ingin menjadi puisi
menurani rasa cinta
ILUSI /2/
aku mencoba pahami tangis gerimis
menetesi helai helai daun
ada gelisah mengkecamuki hati
riak riak kecewa mengkristal duka
aku membaca tangis senja
mentari luruh menyentuh
membias sejumlah wajah meresah
malam membenamku dalam diam
aku mencari arti di hati sunyi
mengsketsa kembali sejuta puisi
dari sebalik lembar lembar mimpi
hingga fajar tiba mensuasana
segala rasa
ANDAI
di taman ini aku sendiri menghati sunyi
menari mimpi mimpi mencari arti
seribu puisi engkau beri
aku tak juga mengerti, sayang
makna serangkum senyum bibirmu
janji janji tiada bertepikah
atau kata kata pelipur lara
dan ketika pendar pelangi pudar
kau biarkan sunyi menikam senja
menyisa segala hampa di dada
ah, andai bisa aku dalami hati
memahami segala rasa segala apa
tiada kecewa mendera dera
meski derai gerimis menyisa tangis
pada beranda senja ini, sayang
(Sampali, 2008)
DEPAN PINTU
tibaku depan pintu
aku termangu
pintu yang dulu akrab
persilahkan masuk tanpa mengetuk
kini bak menyatu jadi tembok batu
sekian waktu berlalu bisu
di halaman tanpa taman
angin permainkan kerinduan
menyatu seribu jejak kenangan
memburu dalam tanya
“ah, kemana gerangan teman-teman?”
tibaku depan pintu
aku termangu
rinduku berbuah ragu
sekian waktu sunyi menjalari
mengetuki dinding hati
merenda tanya,
“masihkah mereka menanti di sini?”
tibaku depan pintu
aku termangu
rinduku dipupus ragu
hatiku membisu
( tbsu, 97)
Parodi Diri
sebegitu lesatkah matahari berlalu luluh?
tanpa hangat menggeliat tubuh
guyur hujan di dinihari menggerimis hingga pagi
gigil dingin masih memilin
kita hilang gegas dikemas malas
apa yang tersisa pada rentang siang?
rutinitas tak tuntas, resah tertumpah di jalan berbasah,
pesona pelangi menari mimpi, atau
kulik elang hilang peluang di ambang petang
pada beranda senja kita merenda kata
menyisa sejuta tanya hampa
“apa, mengapa dan bagaimana”
matahari melesap malampun mendekap
apakah kita masih berharap
mimpi membuai jadi berarti di esok hari
tapi mengapa pagi berkali kita khianati?
(2008)
MAHA BENCANA
inilah maha bencana sesungguhnya
ketika di mana-mana limbah meruah membuncah
mempolusi apa saja siapa saja
hari ke hari pabrik-pabrik industri
memuntah jutaan ton limbah organik dan non organik
parit, sungai, danau terkontaminasi
limbah kian melarut pekati laut
segala biota terancam binasa
dalam sampan nelayan diam muram
ikan-ikan menjauhi tepi pantai
mencari sarang, karena terumbu karang telah hilang
limbah bak arus terus menggerus
menggulung tak terbendung
air, tanah, udara diperkosa
apa yang kita rasakan, ketika
suhu bumi mulai meningkat saat lidah api menjilat
karena atmosfir nganga terkoyak
apa yang kita alami, ketika
badai radiasi matahari menggerogoti
kita bagai memabuk mimpi-mimpi buruk
melagu igau lalu kaku beku
tidakkah hati kita didebur debar
ketika hutan ditebang dan dibakar
orang utan kehilangan dahan gegayutan
harimau menceracau tak tentu tuju
rusa dan beruang lintang-pukang
badak dan gajah melangkah lelah menuju punah
burung-burung bersenandung murung
kupu-kupu dan kumbang terbang gamang
apa yang kita rasakan
ketika suhu bumi bertambah panas
hamparan salju beku pun mencair
meninggikan permukaan lautan
arus air deras mengalir membanjiri daratan
memporakporandakan tatanan kehidupan
apa lagi yang dapat kita lakukan
ketika virus penyakit terus mewabah
masihkah kita berpangku tangan
dan membiarkan peradaban musnah?
(Medan, 2009)
INI MEDAN, KAWAN
ini medan, kawan
kota menyimpan sejuta impian, selaksa harapan
kota di mana orang-orang memburu segala tuju
bagai beribu laron menyerbu lelampu neon
dan merkuri usai hujan senja hari
ini medan, kawan
tanah deli. tanah pernah tumpah keringat, air mata
dan darah para kuli, pekerja paksa dibawa belanda
dari jawa
sendu pilu membatu di perkebunan tebu dan tembakau
manis gula tebu harum aroma tembakau adalah
isak tangis rindu yang terbelenggu
ini medan, kawan
orang-orang saling gegas jalani rutinitas tak tuntas
ruang-ruang kota dipadati bebangunan
badan jalan disesaki kendaraan dan
kemacetan adalah suguhan paling membosankan
malam hari situasi bagai tak selesai
orang-orang tak henti menari mimpi gapai pelangi
di atas sungai deli bulan menyabit pucat pasi
tebing-tebing sungai menyempit dihimpit
dinding-dinding beton
pohon-pohon mati meranggas, karena akarnya ditebas
dedahan dipangkas biar pandangan bebas lepas
ditebang, agar tak menghalang tiang pancang
gedung-gedung menjulang
sungai deli kian merana, karena segala limbah
segala sampah muntah ke sana
inilah medan, kawan
guru patimpus kini jadi situs batu, bisu
istana maimoon jadi tempat melamun
titi gantung jadi saksi murung
rumah chong afie hanya menyisa mimpi
Konspirasi Angin
selalu angin memasung ragu di setiap rindu
membujuk, atau memaksaku melupakanmu
anginpun selalu pertemukan awan jadi gumpalan
membungkus indah rembulan, hingga
menitis tangis gerimis
seperti kali ini
matahari bagai tiada memulai pagi
mendung menggelayut dan bumi berselimut sepi
melupakanmu, berarti memungkiri nurani
menambah-nambah perih hati
selalu angin berlalu menyisa senyap di setiap harap
dan tanya tak terjawab
menghampaku hingga gelap kian menyekap
anginpun selalu permainkan dedaunan
gugurannya memupus lukisan pertemuan
konspirasi ini bagai angin mengawang harapan
menyisa angan-angan
menerawang bimbang
(2007)
SERENADA DIRI
/1/
waktu bergulir bagai air mengalir
seperti kelebat angin melesat
jangan bendung! sebab
gejolak resah kan tumpah
bak ombak menggulung
/2/
jangan pasung ragu di hati
mematung diri. melena pada fatamorgana
percuma saja jiwa dibenih gelisah
belum apa-apa memilih pasrah
Medan, 08
INTERIOR DIRI
: sedemikian jauh bentang ruang waktu ditempuh
beban lelah bertambah. aku menyusuri hari-hari
menuju pasti yang entah
HAMPA /1/
sepi pagi ini adalah titis gerimis tak henti
menderai dedaunan
resahku tumpah di tanah berbasah
gugur dedaunan menabur kenangan
bagai puisi-puisi mempelangi hati
menjelma fatamorgana
hanya hampa
HAMPA /2/
di sini segores senyum secuil tawa
sebegitu langka
selepas isya jerit tangis menggema
di antara talqin-doa
kesima seketika menghentak dada
ternyata kepergian yang pasti
tak mudah dimengerti
HAMPA /3/
sunyi kembali menjalari lantai koridor
dingin mengendap, aroma kematian masih mendekap
malam kian larut. jenazah berlalu sudah
menyisa tanya gelisah,
“pabila maut kembali menjemput?”
(RSH - Medan, 08)
SERENADA HATI
kembang warna putih
mekar tiga tangkai
dedaunannya bersih
dibasuh embun
dibelai angin
disapa mentari
kembang putih
tangkai dipetik
dedaun tersayat perih
lirih merintih
layu
mati…
(Sampali, 08)
ELEGI 1
ini sepi menyelimuti
di kamar tanpa mawar, aku terdampar
meringkuk disuruk rabuk batuk
ah, andai ini pintu diketuk dan kuterima salam sapa
aku ‘kan ke beranda bunga-bunga
tapi, mengapa malam memenjara semuanya
dalam diam menghampa?
ELEGI 2
dan senja pun tiba bersama duka. malam benam
dalam diam menyilam muram. gerimis pun menangis di sepi pagi
mimpi-mimpi masih membingkai hati
MONOLOG DIRI
di rentang empat puluh, entah berapa sisa waktu
di sebalik lelembar almanak. atau justru detak jam menunggu
aku belum jua mampu merindu, sebab simpuhku tak jua utuh
selalu kuledakkan namaMu, tanpa sajadah dan air mata salah
di rentang empatpuluh, alpaku terus bertambah dalam resah gelisah
Allah, Allah, ingin aku kembali seslusuri jejak lelangkah
menghapus segala salah
(032006)
MONOLOG DIRI /1/
Matahariku luluh pada bentang selaput malam bebintang rapuh memuram dalam kenangan masa silam. Jarum detik terus berputar kitari lingkar waktu berlalu. Detaknya mengetuki dinding sepi. Aku teriak memaki, tetapi gema itu bagai deru hujan menjamuri.
Permainanku usai, meski pertarungan belum selesai. Berkali berharap hanya sia-sia menghampa gelap tambah mendekap dan aku bagai hilang arah pada lelangkah melelah.
Matahariku luluh dan malam membungkus tubuh berkali aku terjatuh, berkali menggapai menyentuh tak jua utuh. Aku menyerah, tetapi pasrah itu bagai desau angin menyelimuti
MONOLOG DIRI /2/
Pada rentang empat puluhan entah berapa sisa waktu di sebalik lembar almanak, atau justru detak jam menunggu. Aku belum mampu merindu, sebab simpuh tak jua utuh. Selalu kuledakkan namaMu tanpa sajadah dan air mata bersalah.
Pada rentang empat puluhan alpaku terus bertambah dalam resah, amarah. Tuhan, ingin aku kembali selusuri jejak langkah memunguti karunia malu.
Deli Serdang, 05 – 07
SERENADA DIRI /1/
seperti matahari gairahmu tak henti
menjalari, meski senjaku telah tiba
pada langkah melelah
aku terbenam dalam malam membeku
kau terus memburu dalam cumbu menggebu
di ujung waktu hanya tersisa cemburu
SERENADA DIRI /2/
aku ingin selalu dicumbui
elusan lembut menjalari dari celah-celah
menggeliatku dari mimpi beku
darah gairahku mencair bulir-bulir keringat
dalam dekap hangat memacu semangat
di puncak panas membakar aku terkapar
dalam dahaga dan lapar, tapi
api cumbu belum henti aku dipacu kembali
hingga lelah mendekap di malam melelap
Deliserdang, 06 – 07
GEMURUH WAKTU MENYERGAP TAK BERJAWAB
tiada lagi tersisa bersama waktu berlalu
hanya gemuruh rindu terpendam dalam diam
kecamuknya menyiksa, ketika apa saja
menjelma jadi cerita pernah dirasa
aku menyendiri terperangkap senyap
sejuta kata merangkai bertubi tanya
menyergap tak terjawab, sebab selalu saja
diawali andai demi andai tak pasti
(Deli Serdang, 2007)
Senin, 31 Oktober 2011
Minggu, 30 Oktober 2011
ARTIKEL MYR
Dunia Kesenian: Mempertanyakan Nurani dan Kepedulian
Oleh : M. Yunus Rangkuti
Pada 27 – 29 April 2008, penulis diundang panitia sebagai peninjau pada acara “Temu Penyair 5 Kota” di Payakumbuh, Sumatera Barat. Acara berlangsung sukses. Kesuksesan ini terlihat dari besarnya kepedulian Pemerintah Kota Payakumbuh, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Dewan Kesenian Daerah Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatera Barat, Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Payakumbuh, Universitas Andalas, Komunitas Seni Intro, serta antusias masyarakat setempat. Terlebih di Nagari Taeh, kampungnya Penyair Khairil Anwar. Ratusan masyarakat antusias mengikuti acara mengenang penyair ternama tersebut.
Kita mungkin berbangga hati membaca biodata Khairil Anwar yang dilahirkan di Medan. Apakah daerah ini merasa memiliki sastrawan tersebut? Setiap kali bulan April tiba, kegiatan apa yang kita laksanakan untuk mengenangnya? Masyarakat Nagari Taeh beserta jajaran Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, dan Pemerintah Sumbar telah menyatakan Khairil Anwar adalah penyair yang lahir dari daerahnya.
Besarnya kepedulian dan antusias pemerintah dan masyarakat daerah tersebut, merupakan hal yang hampir-hampir tak tampak di sini. Berkali even kesenian yang diselenggarakan di Medan khususnya, tampak sepi. Baik dari peserta, undangan, maupun masyarakat yang menyaksikan acara tersebut. Sementara pelaksanaan acara berlangsung seadanya, sebab kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan instansi yang terkait. Terutama dalam pendanaan.
Beberapa kali kegiatan yang seharusnya dilaksanakan harus molor dari jadwal, diundur tanpa kepastian, atau terpaksa dibatalkan, karena kesulitan dalam pendanaan dan fasilitas. Contoh kasus, ketika Medan ditetapkan sebagai tuan rumah “Temu Penyair se-Sumatera 2004”. Bertahun acara tersebut tak terlaksana. Baru terselenggara pada Desember 2007 lalu, disatukan dalam kegiatan “Temu Sastrawan se -Sumatera/ Sumatera Utara”.
Sesungguhnya kekurangpedulian bukan hanya terlihat di setiap kegiatan kesenian, namun semua hal terkait di bidang kesenian. Termasuk pelaku seni atau seniman yang sesungguhnya adalah asset. Seperti halnya olahragawan, politikus, tekhnokrat, atau kalangan bisnis. Padahal, banyak seniman Sumatera Utara yang karyanya telah mengharumkan Sumatera Utara di tingkat nasional dan internasional.
Bisa dikata, hanya seniman di bidang musik dan tari yang berkali merasakan “manisnya” kucuran dana pemerintah. Sedangkan seniman di bidang sastra, teater, lukis, dan kriya hanya sesekali mencicipi. Itu pun harus pontang-panting untuk meminta dana. Tahun-tahun belakangan ini Dewan Kesenian Sumatera Utara, Dewan Kesenian Medan dan daerah tingkat dua lainnya nyaris tak mampu melaksanakan kegiatan. Termasuk juga Taman Budaya Sumatera Utara, dikarenakan tak memiliki anggaran. Beberapa seniman yang diundang menghadiri kegiatan di daerah lain urung berangkat, karena kesulitan dana.
Pahitnya suasana berkesenian di Sumatera Utara sangat dirasakan para seniman dalam hidup dan kehidupannya, hingga akhir hayatnya. Satu dua menjalani masa tuanya terlunta-lunta. Di mana nurani dan kepedulian kita?
Masih membayang di mata kita kondisi penyair N A. Hadian yang sakit-sakitan menjelang akhir hayatnya. Beliau bahkan beberapa hari “terdampar” di pelataran musholla TBSU. Hanya seniman yang peduli padanya. Tiada uluran tangan pemerintah daerah membantu biaya perobatannya. Setelah beliau meninggal, penghargaan apa yang telah diberikan padanya? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya?
Kondisi-kondisi yang hampir sama juga dialami dialami seniman kita yang telah meninggal, ataupun saat ini sakit-sakitan. Dunia kesenian kita berkali berkabung, disaat senimannya meninggal dunia. Buoy Hardjo, Maruli Simbolon, Amiruddin AR, Danil Eneste, Rusli A. Malem, Lazuardi Anwar, Sirto Yono, Monos Ra, M. Yunus Matondang, Tantowi Yunus, Slamet Khairi, Usman Al Hudawy,dan Raswin Hasibuan. Mungkin hanya seniman, keluarga, kerabat dan tetangga yang peduli dan sangat merasa kehilangan.
Apakah kondisi seperti ini dirasakan juga di daerah lain? Mungkin saja sama, atau malah sebaliknya. Mereka para seniman justru sebegitu dipeduli oleh pemerintahnya. Seorang sastrawan Medan, pernah menulis tentang sastrawan ternama Propinsi Riau mendiang Idrus Tintin, ketika beliau menderita sakit. Dia menceritakan betapa tingginya kepedulian masyarakat Riau dari berbagai kalangan. Termasuk juga dari Sumatera Barat dan Sumut.
Mulai dari gubernur, walikota, wakapolda, Rektor Universitas Negeri Riau, pejabat pemerintah setara lainnya hadir membesuk Idrus Tintin di rumah sakit. Kepedulian dan simpati yang dalam juga diperlihatkan kalangan budayawan dan seniman Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Dari Medan, seorang pejabat mengirim bantuan alat perobatan. Bagi sebagian besar masyarakat Riau, Idrus Tintin adalah sosok seniman yang pantas dihormati.
Ah, kepedulian seperti itu sesuatu yang langka di sini.
Balai Bahasa Medan : Keberadaan dan Peran
Oleh: M. Yunus Rangkuti
“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta,” sesungguhnya bukan ungkapan perasaan sederhana belaka. Ungkapan tersebut justru merupakan pondasi yang kuat untuk sebentuk peningkatan kemajuan pembangunan. Mengandung daya dinamis dan rasa optimis untuk menepis sikap-sikap pesimis. Dalam lingkup pergaulan orang per orang, antar instansi, bahkan hubungan internasional, justru ungkapan tersebut sering dinafikan. Berkali kita merasa tertepi, karena tak dipeduli. Selalu terjadi salah komunikasi dan persepsi di instansi. Negara kita pun selalu tertinggal dalam segala bidang.
Berkali survey mengenai kondisi kehidupan masyarakat diselenggarakan, selalu saja menuai hasil menyedihkan. Tingkat kemiskinan masih saja tinggi. Kondisi kesehatan sedemikian buruk. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Kinerja aparat pemerintah masih lemah. Kondisi ini diperparah oleh situasi keamanan masih belum dirasakan.
Apakah kita menyadari kenyataaan itu? Mungkin kita justru berada pada situasi memasrah diri. Merasakan dan menjalani kehidupan dengan segala keluh kecewa. Tak mengerti mengapa terjadi dan tak mampu mencari solusi memperbaiki kondisi. Kebodohan telah mengunci hati untuk percaya diri dan bersikap mandiri.
Menafikan makna, “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” justru sebentuk kebodohan. Pada era globalisasi yang ditandai kecanggihan teknologi komunikasi, masihkah kita berdiam diri atau menari mimpi tak pasti?
Sesungguhnya Negara kita ini dianugerahi sumber kekayaan alam, adat istiadat dan budaya, yang jika dikelola dengan benar akan sangat bermamfaat bagi kehidupan. Untuk pengelolaan dan pemamfaatannya, telah dibangun segala sarana, prasarana dan fasilitas. Didirikan banyak lembaga instansi dan institusi. Masalahnya, kita banyak tak tau atau tak mau tau untuk memamfaatkan keberadaannya. Sebaliknya, banyak juga lembaga instansi dan institusi yang terkesan tertutup atau mempersulit masyarakat dalam memamfaatkan keberadaannya. Bahkan, untuk sekedar mencari dan mendapatkan informasi.
Keberadaan Balai Bahasa Medan sebagai Unit Pelaksana Teknis Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, mungkin belum banyak diketaui lapisan masyarakat Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya. Baik secara lokasi, mamfaat, peran dan program yang telah dilaksanakan Padahal, secara Visi dan Misi memiliki tujuan strategis untuk kemajuan bangsa Indonesia . Visi Pusat Bahasa adalah “Terwujudnya lembaga penelitian yang unggul dan pusat informasi serta pelayanan yang prima di bidang kebahasaan dan kesastraan dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang berwibawa dan bahasa perhubungan luas tingkat antarbangsa.”
Misi Pusat Bahasa meliputi (1) peningkatan mutu bahasa dan sastra, (2) peningkatan sikap positif masyarakat terhadap bahasa dan sastra, (3) pengembangan bahan/ sarana informasi kebahasaan dan kesastraan, (4) peningkatan mutu tenaga kebahasaan dan kesastraan, (5) pengembangan kerja sama, dan (6) pengembangan pengelolaan kelembagaan.
Mendasari visi dan misi tersebut, timbul pertanyaan, “Telah berperankah Balai Bahasa Medan?” Pertanyaan ini hendaknya jangan dijawab putus dengan “telah” atau “belum” semata, namun disikapi secara arif. Pertanyaan ini bisa luas menjangkau banyak hal. Apa-apa program yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Bentuk-bentuk publikasi dan pelayanan tersedia. Hasil yang telah dicapai, bentuk-bentuk kendala ditemui, dan juga kegagalan yang terjadi.
LEBIH OPTIMAL
“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” mungkin belum jadi pondasi keberadaan Balai Bahasa Medan. Termasuk juga sosok para pegawainya sebagai pelaksana teknis. Lokasi Balai Bahasa Medan masih banyak masyarakat yang tak tau. Tentunya ini akan terkait dengan ketidaktauan mereka secara luas akan keberadaan Balai Bahasa Medan. Membiarkan situasi seperti ini akan mempersulit peran Balai Bahasa Medan dalam pelaksanaan visi dan misi.
Untuk itu, kinerja pegawai Balai Bahasa Medan dituntut lebih optimal. Aktif dalam pensosialisasian, tidak bersikap pasif. Sosialisasi keberadaan dan peran Balai Bahasa Medan hendaknya lebih diarahkan ke masyarakat luas. Ada banyak cara yang mudah dilaksanakan. Misalnya: penyebaran brosur, penerbitan yang diberikan secara gratis, menyelenggarakan festival dan lomba tentang bahasa dan kesastraan. Peningkatan minat baca di tingkat sekolah dasar dan menengah dan masyarakat pedesaan.
Kerjasama dengan media cetak dan elektronik, instansi searah, institusi pendidikan, lembaga seni dan budaya, kelompok belajar masyarakat pedesaan, dan tentunya kerelaan pegawainya, jika ditugaskan ke daerah terpencil sekalipun
Apakah hal-hal tersebut telah terlaksana? Jawabannya terpulang pada Balai Bahasa Medan. Jika hasil-hasil yang dicapai selama ini belum menggembirakan, artinya masih banyak hal yang perlu pembenahan.
(Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Essay Peran Balai Bahasa Medan)
Dunia Kesenian: Mempertanyakan Nurani dan Kepedulian
Oleh : M. Yunus Rangkuti
Pada 27 – 29 April 2008, penulis diundang panitia sebagai peninjau pada acara “Temu Penyair 5 Kota” di Payakumbuh, Sumatera Barat. Acara berlangsung sukses. Kesuksesan ini terlihat dari besarnya kepedulian Pemerintah Kota Payakumbuh, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Dewan Kesenian Daerah Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatera Barat, Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Payakumbuh, Universitas Andalas, Komunitas Seni Intro, serta antusias masyarakat setempat. Terlebih di Nagari Taeh, kampungnya Penyair Khairil Anwar. Ratusan masyarakat antusias mengikuti acara mengenang penyair ternama tersebut.
Kita mungkin berbangga hati membaca biodata Khairil Anwar yang dilahirkan di Medan. Apakah daerah ini merasa memiliki sastrawan tersebut? Setiap kali bulan April tiba, kegiatan apa yang kita laksanakan untuk mengenangnya? Masyarakat Nagari Taeh beserta jajaran Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, dan Pemerintah Sumbar telah menyatakan Khairil Anwar adalah penyair yang lahir dari daerahnya.
Besarnya kepedulian dan antusias pemerintah dan masyarakat daerah tersebut, merupakan hal yang hampir-hampir tak tampak di sini. Berkali even kesenian yang diselenggarakan di Medan khususnya, tampak sepi. Baik dari peserta, undangan, maupun masyarakat yang menyaksikan acara tersebut. Sementara pelaksanaan acara berlangsung seadanya, sebab kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan instansi yang terkait. Terutama dalam pendanaan.
Beberapa kali kegiatan yang seharusnya dilaksanakan harus molor dari jadwal, diundur tanpa kepastian, atau terpaksa dibatalkan, karena kesulitan dalam pendanaan dan fasilitas. Contoh kasus, ketika Medan ditetapkan sebagai tuan rumah “Temu Penyair se-Sumatera 2004”. Bertahun acara tersebut tak terlaksana. Baru terselenggara pada Desember 2007 lalu, disatukan dalam kegiatan “Temu Sastrawan se -Sumatera/ Sumatera Utara”.
Sesungguhnya kekurangpedulian bukan hanya terlihat di setiap kegiatan kesenian, namun semua hal terkait di bidang kesenian. Termasuk pelaku seni atau seniman yang sesungguhnya adalah asset. Seperti halnya olahragawan, politikus, tekhnokrat, atau kalangan bisnis. Padahal, banyak seniman Sumatera Utara yang karyanya telah mengharumkan Sumatera Utara di tingkat nasional dan internasional.
Bisa dikata, hanya seniman di bidang musik dan tari yang berkali merasakan “manisnya” kucuran dana pemerintah. Sedangkan seniman di bidang sastra, teater, lukis, dan kriya hanya sesekali mencicipi. Itu pun harus pontang-panting untuk meminta dana. Tahun-tahun belakangan ini Dewan Kesenian Sumatera Utara, Dewan Kesenian Medan dan daerah tingkat dua lainnya nyaris tak mampu melaksanakan kegiatan. Termasuk juga Taman Budaya Sumatera Utara, dikarenakan tak memiliki anggaran. Beberapa seniman yang diundang menghadiri kegiatan di daerah lain urung berangkat, karena kesulitan dana.
Pahitnya suasana berkesenian di Sumatera Utara sangat dirasakan para seniman dalam hidup dan kehidupannya, hingga akhir hayatnya. Satu dua menjalani masa tuanya terlunta-lunta. Di mana nurani dan kepedulian kita?
Masih membayang di mata kita kondisi penyair N A. Hadian yang sakit-sakitan menjelang akhir hayatnya. Beliau bahkan beberapa hari “terdampar” di pelataran musholla TBSU. Hanya seniman yang peduli padanya. Tiada uluran tangan pemerintah daerah membantu biaya perobatannya. Setelah beliau meninggal, penghargaan apa yang telah diberikan padanya? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya?
Kondisi-kondisi yang hampir sama juga dialami dialami seniman kita yang telah meninggal, ataupun saat ini sakit-sakitan. Dunia kesenian kita berkali berkabung, disaat senimannya meninggal dunia. Buoy Hardjo, Maruli Simbolon, Amiruddin AR, Danil Eneste, Rusli A. Malem, Lazuardi Anwar, Sirto Yono, Monos Ra, M. Yunus Matondang, Tantowi Yunus, Slamet Khairi, Usman Al Hudawy,dan Raswin Hasibuan. Mungkin hanya seniman, keluarga, kerabat dan tetangga yang peduli dan sangat merasa kehilangan.
Apakah kondisi seperti ini dirasakan juga di daerah lain? Mungkin saja sama, atau malah sebaliknya. Mereka para seniman justru sebegitu dipeduli oleh pemerintahnya. Seorang sastrawan Medan, pernah menulis tentang sastrawan ternama Propinsi Riau mendiang Idrus Tintin, ketika beliau menderita sakit. Dia menceritakan betapa tingginya kepedulian masyarakat Riau dari berbagai kalangan. Termasuk juga dari Sumatera Barat dan Sumut.
Mulai dari gubernur, walikota, wakapolda, Rektor Universitas Negeri Riau, pejabat pemerintah setara lainnya hadir membesuk Idrus Tintin di rumah sakit. Kepedulian dan simpati yang dalam juga diperlihatkan kalangan budayawan dan seniman Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Dari Medan, seorang pejabat mengirim bantuan alat perobatan. Bagi sebagian besar masyarakat Riau, Idrus Tintin adalah sosok seniman yang pantas dihormati.
Ah, kepedulian seperti itu sesuatu yang langka di sini.
Balai Bahasa Medan : Keberadaan dan Peran
Oleh: M. Yunus Rangkuti
“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta,” sesungguhnya bukan ungkapan perasaan sederhana belaka. Ungkapan tersebut justru merupakan pondasi yang kuat untuk sebentuk peningkatan kemajuan pembangunan. Mengandung daya dinamis dan rasa optimis untuk menepis sikap-sikap pesimis. Dalam lingkup pergaulan orang per orang, antar instansi, bahkan hubungan internasional, justru ungkapan tersebut sering dinafikan. Berkali kita merasa tertepi, karena tak dipeduli. Selalu terjadi salah komunikasi dan persepsi di instansi. Negara kita pun selalu tertinggal dalam segala bidang.
Berkali survey mengenai kondisi kehidupan masyarakat diselenggarakan, selalu saja menuai hasil menyedihkan. Tingkat kemiskinan masih saja tinggi. Kondisi kesehatan sedemikian buruk. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Kinerja aparat pemerintah masih lemah. Kondisi ini diperparah oleh situasi keamanan masih belum dirasakan.
Apakah kita menyadari kenyataaan itu? Mungkin kita justru berada pada situasi memasrah diri. Merasakan dan menjalani kehidupan dengan segala keluh kecewa. Tak mengerti mengapa terjadi dan tak mampu mencari solusi memperbaiki kondisi. Kebodohan telah mengunci hati untuk percaya diri dan bersikap mandiri.
Menafikan makna, “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” justru sebentuk kebodohan. Pada era globalisasi yang ditandai kecanggihan teknologi komunikasi, masihkah kita berdiam diri atau menari mimpi tak pasti?
Sesungguhnya Negara kita ini dianugerahi sumber kekayaan alam, adat istiadat dan budaya, yang jika dikelola dengan benar akan sangat bermamfaat bagi kehidupan. Untuk pengelolaan dan pemamfaatannya, telah dibangun segala sarana, prasarana dan fasilitas. Didirikan banyak lembaga instansi dan institusi. Masalahnya, kita banyak tak tau atau tak mau tau untuk memamfaatkan keberadaannya. Sebaliknya, banyak juga lembaga instansi dan institusi yang terkesan tertutup atau mempersulit masyarakat dalam memamfaatkan keberadaannya. Bahkan, untuk sekedar mencari dan mendapatkan informasi.
Keberadaan Balai Bahasa Medan sebagai Unit Pelaksana Teknis Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, mungkin belum banyak diketaui lapisan masyarakat Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya. Baik secara lokasi, mamfaat, peran dan program yang telah dilaksanakan Padahal, secara Visi dan Misi memiliki tujuan strategis untuk kemajuan bangsa Indonesia . Visi Pusat Bahasa adalah “Terwujudnya lembaga penelitian yang unggul dan pusat informasi serta pelayanan yang prima di bidang kebahasaan dan kesastraan dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang berwibawa dan bahasa perhubungan luas tingkat antarbangsa.”
Misi Pusat Bahasa meliputi (1) peningkatan mutu bahasa dan sastra, (2) peningkatan sikap positif masyarakat terhadap bahasa dan sastra, (3) pengembangan bahan/ sarana informasi kebahasaan dan kesastraan, (4) peningkatan mutu tenaga kebahasaan dan kesastraan, (5) pengembangan kerja sama, dan (6) pengembangan pengelolaan kelembagaan.
Mendasari visi dan misi tersebut, timbul pertanyaan, “Telah berperankah Balai Bahasa Medan?” Pertanyaan ini hendaknya jangan dijawab putus dengan “telah” atau “belum” semata, namun disikapi secara arif. Pertanyaan ini bisa luas menjangkau banyak hal. Apa-apa program yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Bentuk-bentuk publikasi dan pelayanan tersedia. Hasil yang telah dicapai, bentuk-bentuk kendala ditemui, dan juga kegagalan yang terjadi.
LEBIH OPTIMAL
“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” mungkin belum jadi pondasi keberadaan Balai Bahasa Medan. Termasuk juga sosok para pegawainya sebagai pelaksana teknis. Lokasi Balai Bahasa Medan masih banyak masyarakat yang tak tau. Tentunya ini akan terkait dengan ketidaktauan mereka secara luas akan keberadaan Balai Bahasa Medan. Membiarkan situasi seperti ini akan mempersulit peran Balai Bahasa Medan dalam pelaksanaan visi dan misi.
Untuk itu, kinerja pegawai Balai Bahasa Medan dituntut lebih optimal. Aktif dalam pensosialisasian, tidak bersikap pasif. Sosialisasi keberadaan dan peran Balai Bahasa Medan hendaknya lebih diarahkan ke masyarakat luas. Ada banyak cara yang mudah dilaksanakan. Misalnya: penyebaran brosur, penerbitan yang diberikan secara gratis, menyelenggarakan festival dan lomba tentang bahasa dan kesastraan. Peningkatan minat baca di tingkat sekolah dasar dan menengah dan masyarakat pedesaan.
Kerjasama dengan media cetak dan elektronik, instansi searah, institusi pendidikan, lembaga seni dan budaya, kelompok belajar masyarakat pedesaan, dan tentunya kerelaan pegawainya, jika ditugaskan ke daerah terpencil sekalipun
Apakah hal-hal tersebut telah terlaksana? Jawabannya terpulang pada Balai Bahasa Medan. Jika hasil-hasil yang dicapai selama ini belum menggembirakan, artinya masih banyak hal yang perlu pembenahan.
(Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Essay Peran Balai Bahasa Medan)
Cerpen MYR (1)
Maha Ada di Suka Duka Jiwa
Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali. Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka. Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa justru melupa di saat Suka telah kembali berada. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?” Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?”
“Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.”
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi tanya.
“Duka, bantulah daku menemukan Suka.”
“Bukankah seluruh yang berada di sekitarmu adalah Suka?”
“Daku menginginkan Suka dalam sebentuk penuh pesona.”
“Berupayalah Jiwa.”
“Upaya bagaimana daku lakukan? Daku merasa sebegitu hampa.”
“Selalulah mengingat pada Maha.”
“Bagaimana caranya?”
“Bersamaku kau kan selalu mengingat.”
Jiwa pun berjalan bersama Duka. Melangkah menyusuri sungai, menempuh rerimba belantara, mendaki perbukitan, dan menuruni lelembah. Berhari, berbulan, bahkan bertahun. Lalu pada satu waktu di satu tempat datar meluas, Jiwa akhirnya bersua Suka yang pernah mempesonanya. Jiwa dan Suka kembali bersatu.
***
Waktu terus berlalu. Jiwa bertebaran di mana-mana. Saling berlomba memperebutkan Suka. Sesama Jiwa bertikai, berperang, dan saling bunuh untuk mendapatkan Suka Demi Suka Jiwa kembali melupa Maha. Berkali Maha menegur Jiwa melalui Duka, namun hanya sesaat Jiwa mengingat Maha.
Jiwa merasa telah memiliki Suka sepenuhnya. Jiwa justru menganggap telah mencipta Suka. Untuk itu Jiwa berhak sepenuhnya akan keberadaan Suka. Jiwa telah melupakan perjanjiannya di hadapan Maha.
Jiwa kecewa, ketika Maha mengambil sebagian atau sepenuh Suka darinya. Ketika Maha menebar Duka, Jiwa merasa teraniaya. Jiwa tak bias menerima. Bagi Jiwa Duka hanyalah fenomena biasa yang segera sirna. Ketika Duka berkepanjangan, Jiwa berkeluh resah. Jiwa tak bisa menerima. Jiwa protes, mempertanyakan Maha:
Maha,
Duka ini milikmu
Mengapa daku harus merasa?
Maha tak lagi langsung berkata mengingatkan Jiwa. Maha tak lagi menegur lewat kata-kata. Sejak awal Maha telah memperingatkan Jiwa. Bagi Maha segelintir Jiwa yang mengingat, adalah lebih utama. Merekalah Jiwa-Jiwa mulia. Jiwa-Jiwa yang kelak berhak menikmati Suka sepenuhnya.
Ingatlah Jiwa,
Saat Duka engkau rasa Sesungguhnya aku menyapa
Mengapa engkau melupa?
Maha tetap mempertahankan Duka pada Jiwa. Melalui Duka, Maha memperingatkan Jiwa yang berlomba memperebut Suka. Bermanja atau justru membanggakan Suka. Entah mengapa, berjuta Jiwa tak juga bisa menerima akan Duka. Di kala Suka Jiwa melupa Maha, di kala Duka Jiwa mempertanyakan Maha.
“Maha, Maha! Mengapa Duka selalu mendera?”
Jiwa selalu merasa Duka jadi penyebab terengutnya Suka. Di kala Duka kian terasa, Jiwa-Jiwa berlomba enyahkan Duka. Seakan Duka tiada dan tak perlu ada. Bukannya memakna, mengapa tercipta Duka. Mengapa Maha Hadirkan Duka?
Satu waktu jiwa kembali bertanya pada Maha:
Di mana engkau
Rupa tiada*
Jiwa sebenarnya tak merindu Maha. Jiwa tak bisa menerima kehilangan Suka. Entah kenapa, Jiwa sebegitu mudah melupa atau tak menerima bahwa Maha adalah segalanya. Maha berada di mana saja. Pada Suka maupun Duka. Maha ada di Suka Duka Jiwa.
****
*Dari Padamu Jua, Amir Hamzah
Medan, 0508
Mai Tak Lagi Menuai Tangis
Mai tidak mungkin menolak keputusan yang diambil pihak keluarga dan sidang hukum adat di desanya. Sebagai perempuan dan kakak, Mai harus datang meminta maaf pada keluarga yang anak gadisnya telah diperkosa. Adik laki-laki Mai yang masih remaja, dituduh sebagai pelaku pemerkosaan tersebut. Meski tuduhan tersebut tidak didasari bukti yang kuat, pihak keluarga si gadis bersama dewan adat desa bersikeras si pelaku adalah adiknya.
Ditemani oleh ayah dan pamannya, Mai mendatangi desa keluarga gadis tersebut. Di desa tersebut mereka menemui sidang hukum adat yang tak lengkap, karena kurang dari jumlah anggota dewan adat yang telah ditentukan. Meski permintaan maaf mereka telah diterima, Mai beserta ayah dan pamannya menerima perlakuan tidak simpatik. Tak berapa jauh dari tempat tersebut, abang si gadis bersama lima temannya menangkap Mai.
Mai meronta dan menjerit sekuatnya, tapi sia-sia. Tangan-tangan kekar enam laki-laki tersebut begitu erat memegangi lalu secara paksa menyeretnya. Raungnya seakan tak didengar banyak laki-laki lain di sekitar itu. Ayah dan pamannya hanya bisa menghiba-hiba, tanpa mampu mencegah. Todongan senjata membuat keduanya tak berkutik. Batin mereka bagai dicabik mendengar jerit tangis kesakitan Mai diperkosa beramai-ramai.
Sejam berlalu, Mai baru dibebaskan dengan tubuh nyaris telanjang. Ayahnya segera mendekap dan bergegas membawa pergi. Sepanjang perjalanan pulang ke desa mereka, ratusan orang menyaksikan tanpa peduli, apalagi bersimpati.
***
"Demi Allah, sedikitpun tak ada maksud di hatiku akan terkenal dari peristiwa menyakitkan ini. Lebih baik bagiku hidup seadanya bersama kehormatan terpelihara. Berjuta simpati sekalipun, tak akan mengembalikan kesucianku. Tuduhan itu sebegitu picik! Namun aku berusaha untuk tegar, agar tidak semakin menambah beban penderitaan yang kurasakan. Aku tidak akan berhenti berjuang menuntut keadilan atas perkosaan yang kualami, walau berbagai rintangan dan bahaya sekalipun akan kutemui."
Walau batinnya menangis, Mai berusaha menyembunyikan kenyataan itu dari wajahnya. Mai tidak ingin sorot kamera akan memperlihatkan dirinya perempuan yang lemah. Telah sebegitu lama kaum perempuan di negeri ini dianggap sebagai makhluk lemah. Selalu diposisikan sebagai masyarakat kelas bawah. Hukum adat yang berlaku di desanya dan seluruh desa lainnya, cenderung menguntungkan kaum laki-laki atau berpihak pada yang lebih tinggi derajatnya.
Pelaksanaan hukum adat bukan hanya sebatas merugikan kaum perempuan, namun sudah banyak menimbulkan korban. Pada kasus perkosaan umpamanya, tak terhitung perempuan yang jadi korban perkosaan dipaksa untuk mati atau terpaksa memilih kematian. Masyarakat memandang mereka sebagai perempuan hina dan tak layak untuk hidup. Mereka tak lagi mendapat tempat di desanya. Dikucilkan, bahkan diusir. Mereka tak mungkin lari ke desa lainnya, sebab masyarakat di desa tersebut pasti mengusirnya. Beribu perempuan korban perkosaan lari ke kota, dan di kota nyaris tak punya pilihan, kecuali menjadi pelacur.
Mai tidak terima kenyataan pahit yang dialaminya. Mai tidak ingin batinnya terus menangis, sementara keenam pelaku bebas berkeliaran memperlihatkan tawanya. Mai bertekad untuk melawan. Hatinya sudah bulat.
"Bagaimanapun caranya akan kutempuh berjuang menuntut keadilan lewat jalur hukum. Aku tau, keluargaku sangatlah khawatir akan bahaya yang bisa saja terjadi padaku dan pada mereka sendiri. Aku ingin keenam laki-laki biadab itu dihukum mati. Aku pun ingin kaum perempuan akan lebih berani menuntut keadilan dan tidak selalu dibayangi rasa ketakutan."
Selang beberapa waktu setelah peristiwa perkosaan tersebut, keluarga Mai telah mengadukan hal itu kepada pengadilan negeri. Inisiatif ini datangnya dari seorang pemuka agama yang mengetahui latar belakang persoalan dan keterlibatan dewan adat desa yang justru menjerumuskan Mai. Pemuka agama tersebut juga menceritakan peristiwa itu pada seorang wartawan. Wartawan tersebut belum bermaksud memuat kisah Mai di surat kabarnya, namun menyarankan pada pihak Mai mengadu ke kepolisian.
Kepolisian menanggapi hal ini dan segera menangkap para pelaku. Pada putusan tingkat pertama, hakim pengadilan negeri menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap keenam pelaku, berdasarkan bukti medis dokter. Namun entah didasari pertimbangan apa, pengadilan tinggi justru membebaskan pelaku.
Mai dan keluarganya dikecamuki berbagai perasaan mendengar putusan tersebut. Kaget, marah, kecewa, sedih, bahkan takut campur aduk. Mai tidak bisa menerima keputusan itu. Hatinya merasa terbakar, apalagi selepas sidang para pelaku dan keluarganya melontarkan hinaan, bahkan ancaman pada dirinya. Mai bertekad mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Putusan janggal pengadilan tinggi tersebut diberitakan surat kabar. Dan kisah tentang Mai, bagai cerita bersambung menghiasi lembar surat kabar sebulan lebih. Televisi dan radio pun memberitakan.
Pemberitaan gencar tersebut mengundang reaksi organisasi hak asasi manusia dan kelompok feminis. Hujatan demi hujatan kepada pelaku pemerkosaan tak berhenti dilontarkan. Demikian juga protes selalu ditujukan kepada pengadilan. Sementara itu di hampir seluruh penjuru negeri, muncul banyak unjuk rasa setiap hari. Hujan simpati tak henti disampaikan kepada Mai.
Dunia Intenasional pun mengikuti perkembangan tersebut. Organisasi Perempuan se-Dunia menyampaikan undangan kepada Mai. Pada Konferensi Perempuan se-Dunia yang berlangsung di Spanyol, Mai hadir dan tampil di hadapan peserta konferensi mengkisahkan peristiwa tragis yang dialaminya.
Sekembali ke negerinya, Mai diterima oleh presiden. Setelah mendengar secara langsung dari Mai dan mempertimbangkan gencarnya reaksi masyarakat juga tekanan dunia internasional, presiden segera memerintahkan kepolisian untuk menangkap kembali para pelaku. Kepolisian harus melindungi keselamatan Mai dan keluarganya. Memerintahkan pihak pengadilan merancang secara khusus tempat sidang, sebab terbetik kabar akan ancaman pembunuhan terhadap Mai, jika berani tampil di persidangan.
Di hadapan kamera yang menyorotnya Mai tetap berusaha tampak tegar.
"Aku tau ini berbahaya. Hidup kami terus dibayangi ketakutan. Namun bagaimanapun, aku tak mungkin diam atau pasrah, sebab akan memperberat beban penderitaan yang kurasakan. Aku tak akan menempuh jalan pintas untuk lepas dari penderitaan ini lewat kematian, seperti yang sering terjadi selama ini. Telah begitu banyak perempuan yang bemasib buruk sepertiku memilih bunuh diri, karena terus-menerus dihina.
Aku harus hidup! Andaipun aku dipaksa mati, aku telah berusaha berjuang menuntut keadilan. Perjuanganku ini bukan hanya untukku, namun untuk semua kaum perempuan. Aku berharap kelak hukum akan dilaksanakan seadil-adilnya. Tidak berpihak atau menguntungkan kaum laki-laki, orang kaya atau mereka yang lebih tinggi derajatnya.
Pada kesempatan ini aku mengucapkan rasa terima kasihku pada semua pihak yang merasa peduli dan simpati kepadaku. Meski semuanya itu tidak akan mengembalikan keutuhan yang pernah kumiliki, semakin menyemangati dan membuatku lebih berani.
Secara pribadi aku kembali menyampaikan rasa terima kasih kepada Yang Mulia Presiden atas penerimaannya, ungkapan simpatinya, serta bantuan yang diberikan kepadaku. Beliau berjanji untuk lebih memperhatikan kondisi sosial kehidupan masyarakat di pedesaan. Beliau menugaskan aparat pemerintahan di daerah dan di pedesaan untuk lebih mengawasi pelaksanaan hukum adat.
Aku yakin presiden akan memenuhi janjinya tersebut. Namun semua itu tidak akan mudah, tanpa adanya peran dari kita semua dalam memperbaiki keadaan. Untuk itu uang bantuan yang kuterima kuperuntukkan membangun dua gedung sekolah dasar. Satu gedung untuk murid perempuan dan gedung yang satu lagi untuk murid laki-laki.
Menurutku, pendidikan merupakan jalan terbaik untuk meraih perubahan sosial. Aku berharap kelak dari sekolah tersebut lahir generasi-generasi trampil yang mampu memajukan desa dan negeri kita ini. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya."
***
Kini di desa tersebut telah berdiri dua gedung sekolah dasar. Menteri Pendidikan berkenan hadir dan meresmikan sekolah dasar tersebut. Pemerintah menjamin akan menggratiskan biaya pendidikan bagi seluruh murid. Masyarakat menyambut gembira dan berterima kasih. Namun masyarakat lebih berterima kasih kepada Mai yang dianggap sangat berjasa, meski dibarengi pengorbanannya yang mahal. Sebagai ungkapan simpati dan terima kasih, masyarakat sepakat menetapkan nama Mai sebagai nama dari sekolah dasar tersebut.
Sampali, Juni 2005
Ia (Lelaki tak Sesekali Menghati Benci)
Jangan beranggapan hubungan kami adalah perselingkuhan. Ia tak serendah itu. Ia bukan petualang. Bukan hidung belang yangsenang gonta-ganti pasangan. Musang berbulu ayam. Berpura akrab, justru pasang perangkap. Ia tak bermaksud merusak rumah tanggaku. Sebaliknya, ia juga tidak ingin tampil dan dianggap sebagai pahlawan menyelamatkanku dari prahara melanda. Baginya dalam konteks ini, perusak atau pahlawan sama saja.
Ketulusannya mencintaiku pada gilirannya meluluhkan hatiku. Aku tak mampu bertahan untuk mengungkap apa yang kini kurasakan. “Aku pun mencintaimu.” Itu kuutarakan padanya saat iamenghubungiku. Tepat sebulan setelah ia mengungkap perasaan cintanya padaku. Dan selama sebulan itu setiap kali kami bertemu tak pernah ia menyinggung dan mendesakku untuk memberi jawaban. Padahal aku telah berjanji untuk tak mengungkap perasaanku itu padanya. Biarlah bersemi dan tersimpan di hati. Itu lebih baik dan abadi selamanya. Mungkin kalian anggap aku tak berkepastian dalam hal ini. Jiwaku tengah labil. Baru kemudian aku menyadari akibat dari kesalahan melepas anak panah dari busur. Aku telah melukai perasaan suamiku. Hatinya tentu hancur, justru disaat suamiku mencoba memperbaiki sikapnya demi keutuhan kembali rumah tangga kami.
***
Jadi sekali lagi tolong jangan bebani aku dengan vonis salah. Keputusanku untuk tak menghubungi dan kembali betemu dengannya, memang tak sepenuhnya dating dariku. Itu adalah komitmen antara aku dan suamiku setelah kuceritakan segalanya. Suamiku pun telah menyadari sikap salahnya telah mengkondisikan diriku. Aku yakin, lelaki yang tulus mencintaiku itu, akan dapat memahami dan menerima kenyataan. Ia lelaki yang tegar, meski sesaat hatinya pasti kecewa dalam siksa rindu kehilangan diriku. Ia lelaki yang berkali merasakan luka-duka. Tapi, ia juga lelaki yang tak pernah menyimpan benci, apalagi dendam di hati.
(Kota Pinang, 06-08)
Duka Tia
Tiada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati. Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan. Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya. Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.” Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana.
“Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah. Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu. Saat berdiri, seseorang tiba-tiba saja telah berada di hadapannya.“Yuri!” seru Tia kaget.
Yuri tersenyum tipis. Mengulurkan tangan dan berkata, “Abang sebegitu merindukanmu.”
Dingin angin berkelebat seketika. Tia merasakan kedinginan itu pada genggaman Yuri. Betapa Tia ingin menyahut mengungkap kerinduan yang juga ia rasakan. Entah mengapa bibirnya justru terkatup. Yuri tau dan menyadari apa yang Tia rasakan. “Tak perlu menjawab, dik. Abang mengerti, waktu telah tiba. Satu permintaan abang, jangan sesekali adik berpaling. Melangkahlah.”
Bel berbunyi, ketika Tia berada di depan gerbang lembaga pendidikan tempatnya mengajar. Hatinya tertanya akan ucapan Yuri. Apa yang dimaksud Yuri, jangan sesekali berpaling? Tia menoleh, tapi Yuri tak lagi ada dilihatnya. Secepat itukah Yuri pergi? Seperti sekelebat angin. Tia seakan merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa?
Hampir sepenjang jam mengajar gelisah menderanya. Tia kehilangan konsentrasi. Selalu saja ia teringat Yuri. Yuri seperti hadir di hadapannya. Tia meraih hp coba menghubungi telepon rumah Yuri. Dua kali yang terdengar hanya nada sibuk. Tia menunggu beberapa saat, lalu mencoba kembali. Lagi-lagi nada sibuk terdengar.
Tia memutuskan menghubungi Sujadi, sahabat Yuri sesama penulis. Menceritakan sekilas pertemuannya dan kegelisahan yang tengah dirasakannya.
“Kemarin kami masih bertemu. Selepas magrib Yuri beranjak pergi tanpa mengatakan hendak ke mana. Hanya ‘ Ada janji yang mesti kutepati,’ sahutnya. Hanya itu, dik.”
“Coba abang upayakan menghubunginya. Jika ada khabar, sampaikan pada Tia ya.”
Dalam ruangan terjadi keriuhan. Murid-murid berteriak bukan lantaran mendengar bel usai jam pelajaran. Mereka heboh mengerumuni Bu Tia yang tiba-tiba terkulai tak sadarkan diri. Sebelum bunyi bel mereka mendengar bunyi hp dan melihat Bu Tia mengeluarkan hp dari tas. Seorang staf pengajar yang meraih hp itu dan membaca pesan singkat yang tertera.
***
Tia berupaya tegar melangkah memasuki rumah duka yang disesaki pentakziah. Ia terisak dan matanya sedemikian sembab. Jenazah Yuri berlapis kain kafan terbujur di hadapannya. Tangis sanak keluarga pecah tak tertahan saat diberi kesempatan terakhir melihat wajah Yuri. Tia merasa tubuhnya sedemikian ringan. Bagai mengambang. Nyaris tak dirasakannya jemari mungil gadis kecil menggamit lengannya.
“Ibu Tia, ya? Papa pernah memperlihatkan photo ibu. Papa berjanji akan mempertemukan ibu pada Yuni. Kata papa…”
Tia sontak merangkul gadis itu. Membelainya dalam tangisan. Keharuan kian menjalari ruangan. Prosesi pelepasan dan keberangkatan jenazah Yuri kini tiba pada penyampaian kata-kata takziah. Penawar duka bagi sanak keluarga yang yang ditinggal. Namun duka adalah sebentuk perasaan yang sebegitu cepat menjalari hati, lalu mengendap di dasar paling dalam. Itu yang dirasakan segenap pentakziah. Apalagi di saat Sujadi yang mewakili sahabat almarhum, membacakan puisi:
“terhenyak di duka menyentak
kita baru saja bersamabercerita
hingga lelangit malam memuram
kita pun beranjak
pagi tiba bersama sepenggal berita kau telah tiada
tiada pertanda, meski berkali puisimu menuang rindu abadi
sehelai kain merah terpacak, perkabungan pun merebak
sahabat, menatapmu dalam diam
duka ini serasa kian mendalam
kini kau pergi penuhi janji abadi
selamat jalan sahabat
di hati kami,
kau tetap dekat karyamu selalu melekat
Medan , 0608
Maha Ada di Suka Duka Jiwa
Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali. Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka. Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa justru melupa di saat Suka telah kembali berada. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?” Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?”
“Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.”
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi tanya.
“Duka, bantulah daku menemukan Suka.”
“Bukankah seluruh yang berada di sekitarmu adalah Suka?”
“Daku menginginkan Suka dalam sebentuk penuh pesona.”
“Berupayalah Jiwa.”
“Upaya bagaimana daku lakukan? Daku merasa sebegitu hampa.”
“Selalulah mengingat pada Maha.”
“Bagaimana caranya?”
“Bersamaku kau kan selalu mengingat.”
Jiwa pun berjalan bersama Duka. Melangkah menyusuri sungai, menempuh rerimba belantara, mendaki perbukitan, dan menuruni lelembah. Berhari, berbulan, bahkan bertahun. Lalu pada satu waktu di satu tempat datar meluas, Jiwa akhirnya bersua Suka yang pernah mempesonanya. Jiwa dan Suka kembali bersatu.
***
Waktu terus berlalu. Jiwa bertebaran di mana-mana. Saling berlomba memperebutkan Suka. Sesama Jiwa bertikai, berperang, dan saling bunuh untuk mendapatkan Suka Demi Suka Jiwa kembali melupa Maha. Berkali Maha menegur Jiwa melalui Duka, namun hanya sesaat Jiwa mengingat Maha.
Jiwa merasa telah memiliki Suka sepenuhnya. Jiwa justru menganggap telah mencipta Suka. Untuk itu Jiwa berhak sepenuhnya akan keberadaan Suka. Jiwa telah melupakan perjanjiannya di hadapan Maha.
Jiwa kecewa, ketika Maha mengambil sebagian atau sepenuh Suka darinya. Ketika Maha menebar Duka, Jiwa merasa teraniaya. Jiwa tak bias menerima. Bagi Jiwa Duka hanyalah fenomena biasa yang segera sirna. Ketika Duka berkepanjangan, Jiwa berkeluh resah. Jiwa tak bisa menerima. Jiwa protes, mempertanyakan Maha:
Maha,
Duka ini milikmu
Mengapa daku harus merasa?
Maha tak lagi langsung berkata mengingatkan Jiwa. Maha tak lagi menegur lewat kata-kata. Sejak awal Maha telah memperingatkan Jiwa. Bagi Maha segelintir Jiwa yang mengingat, adalah lebih utama. Merekalah Jiwa-Jiwa mulia. Jiwa-Jiwa yang kelak berhak menikmati Suka sepenuhnya.
Ingatlah Jiwa,
Saat Duka engkau rasa Sesungguhnya aku menyapa
Mengapa engkau melupa?
Maha tetap mempertahankan Duka pada Jiwa. Melalui Duka, Maha memperingatkan Jiwa yang berlomba memperebut Suka. Bermanja atau justru membanggakan Suka. Entah mengapa, berjuta Jiwa tak juga bisa menerima akan Duka. Di kala Suka Jiwa melupa Maha, di kala Duka Jiwa mempertanyakan Maha.
“Maha, Maha! Mengapa Duka selalu mendera?”
Jiwa selalu merasa Duka jadi penyebab terengutnya Suka. Di kala Duka kian terasa, Jiwa-Jiwa berlomba enyahkan Duka. Seakan Duka tiada dan tak perlu ada. Bukannya memakna, mengapa tercipta Duka. Mengapa Maha Hadirkan Duka?
Satu waktu jiwa kembali bertanya pada Maha:
Di mana engkau
Rupa tiada*
Jiwa sebenarnya tak merindu Maha. Jiwa tak bisa menerima kehilangan Suka. Entah kenapa, Jiwa sebegitu mudah melupa atau tak menerima bahwa Maha adalah segalanya. Maha berada di mana saja. Pada Suka maupun Duka. Maha ada di Suka Duka Jiwa.
****
*Dari Padamu Jua, Amir Hamzah
Medan, 0508
Mai Tak Lagi Menuai Tangis
Mai tidak mungkin menolak keputusan yang diambil pihak keluarga dan sidang hukum adat di desanya. Sebagai perempuan dan kakak, Mai harus datang meminta maaf pada keluarga yang anak gadisnya telah diperkosa. Adik laki-laki Mai yang masih remaja, dituduh sebagai pelaku pemerkosaan tersebut. Meski tuduhan tersebut tidak didasari bukti yang kuat, pihak keluarga si gadis bersama dewan adat desa bersikeras si pelaku adalah adiknya.
Ditemani oleh ayah dan pamannya, Mai mendatangi desa keluarga gadis tersebut. Di desa tersebut mereka menemui sidang hukum adat yang tak lengkap, karena kurang dari jumlah anggota dewan adat yang telah ditentukan. Meski permintaan maaf mereka telah diterima, Mai beserta ayah dan pamannya menerima perlakuan tidak simpatik. Tak berapa jauh dari tempat tersebut, abang si gadis bersama lima temannya menangkap Mai.
Mai meronta dan menjerit sekuatnya, tapi sia-sia. Tangan-tangan kekar enam laki-laki tersebut begitu erat memegangi lalu secara paksa menyeretnya. Raungnya seakan tak didengar banyak laki-laki lain di sekitar itu. Ayah dan pamannya hanya bisa menghiba-hiba, tanpa mampu mencegah. Todongan senjata membuat keduanya tak berkutik. Batin mereka bagai dicabik mendengar jerit tangis kesakitan Mai diperkosa beramai-ramai.
Sejam berlalu, Mai baru dibebaskan dengan tubuh nyaris telanjang. Ayahnya segera mendekap dan bergegas membawa pergi. Sepanjang perjalanan pulang ke desa mereka, ratusan orang menyaksikan tanpa peduli, apalagi bersimpati.
***
"Demi Allah, sedikitpun tak ada maksud di hatiku akan terkenal dari peristiwa menyakitkan ini. Lebih baik bagiku hidup seadanya bersama kehormatan terpelihara. Berjuta simpati sekalipun, tak akan mengembalikan kesucianku. Tuduhan itu sebegitu picik! Namun aku berusaha untuk tegar, agar tidak semakin menambah beban penderitaan yang kurasakan. Aku tidak akan berhenti berjuang menuntut keadilan atas perkosaan yang kualami, walau berbagai rintangan dan bahaya sekalipun akan kutemui."
Walau batinnya menangis, Mai berusaha menyembunyikan kenyataan itu dari wajahnya. Mai tidak ingin sorot kamera akan memperlihatkan dirinya perempuan yang lemah. Telah sebegitu lama kaum perempuan di negeri ini dianggap sebagai makhluk lemah. Selalu diposisikan sebagai masyarakat kelas bawah. Hukum adat yang berlaku di desanya dan seluruh desa lainnya, cenderung menguntungkan kaum laki-laki atau berpihak pada yang lebih tinggi derajatnya.
Pelaksanaan hukum adat bukan hanya sebatas merugikan kaum perempuan, namun sudah banyak menimbulkan korban. Pada kasus perkosaan umpamanya, tak terhitung perempuan yang jadi korban perkosaan dipaksa untuk mati atau terpaksa memilih kematian. Masyarakat memandang mereka sebagai perempuan hina dan tak layak untuk hidup. Mereka tak lagi mendapat tempat di desanya. Dikucilkan, bahkan diusir. Mereka tak mungkin lari ke desa lainnya, sebab masyarakat di desa tersebut pasti mengusirnya. Beribu perempuan korban perkosaan lari ke kota, dan di kota nyaris tak punya pilihan, kecuali menjadi pelacur.
Mai tidak terima kenyataan pahit yang dialaminya. Mai tidak ingin batinnya terus menangis, sementara keenam pelaku bebas berkeliaran memperlihatkan tawanya. Mai bertekad untuk melawan. Hatinya sudah bulat.
"Bagaimanapun caranya akan kutempuh berjuang menuntut keadilan lewat jalur hukum. Aku tau, keluargaku sangatlah khawatir akan bahaya yang bisa saja terjadi padaku dan pada mereka sendiri. Aku ingin keenam laki-laki biadab itu dihukum mati. Aku pun ingin kaum perempuan akan lebih berani menuntut keadilan dan tidak selalu dibayangi rasa ketakutan."
Selang beberapa waktu setelah peristiwa perkosaan tersebut, keluarga Mai telah mengadukan hal itu kepada pengadilan negeri. Inisiatif ini datangnya dari seorang pemuka agama yang mengetahui latar belakang persoalan dan keterlibatan dewan adat desa yang justru menjerumuskan Mai. Pemuka agama tersebut juga menceritakan peristiwa itu pada seorang wartawan. Wartawan tersebut belum bermaksud memuat kisah Mai di surat kabarnya, namun menyarankan pada pihak Mai mengadu ke kepolisian.
Kepolisian menanggapi hal ini dan segera menangkap para pelaku. Pada putusan tingkat pertama, hakim pengadilan negeri menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap keenam pelaku, berdasarkan bukti medis dokter. Namun entah didasari pertimbangan apa, pengadilan tinggi justru membebaskan pelaku.
Mai dan keluarganya dikecamuki berbagai perasaan mendengar putusan tersebut. Kaget, marah, kecewa, sedih, bahkan takut campur aduk. Mai tidak bisa menerima keputusan itu. Hatinya merasa terbakar, apalagi selepas sidang para pelaku dan keluarganya melontarkan hinaan, bahkan ancaman pada dirinya. Mai bertekad mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Putusan janggal pengadilan tinggi tersebut diberitakan surat kabar. Dan kisah tentang Mai, bagai cerita bersambung menghiasi lembar surat kabar sebulan lebih. Televisi dan radio pun memberitakan.
Pemberitaan gencar tersebut mengundang reaksi organisasi hak asasi manusia dan kelompok feminis. Hujatan demi hujatan kepada pelaku pemerkosaan tak berhenti dilontarkan. Demikian juga protes selalu ditujukan kepada pengadilan. Sementara itu di hampir seluruh penjuru negeri, muncul banyak unjuk rasa setiap hari. Hujan simpati tak henti disampaikan kepada Mai.
Dunia Intenasional pun mengikuti perkembangan tersebut. Organisasi Perempuan se-Dunia menyampaikan undangan kepada Mai. Pada Konferensi Perempuan se-Dunia yang berlangsung di Spanyol, Mai hadir dan tampil di hadapan peserta konferensi mengkisahkan peristiwa tragis yang dialaminya.
Sekembali ke negerinya, Mai diterima oleh presiden. Setelah mendengar secara langsung dari Mai dan mempertimbangkan gencarnya reaksi masyarakat juga tekanan dunia internasional, presiden segera memerintahkan kepolisian untuk menangkap kembali para pelaku. Kepolisian harus melindungi keselamatan Mai dan keluarganya. Memerintahkan pihak pengadilan merancang secara khusus tempat sidang, sebab terbetik kabar akan ancaman pembunuhan terhadap Mai, jika berani tampil di persidangan.
Di hadapan kamera yang menyorotnya Mai tetap berusaha tampak tegar.
"Aku tau ini berbahaya. Hidup kami terus dibayangi ketakutan. Namun bagaimanapun, aku tak mungkin diam atau pasrah, sebab akan memperberat beban penderitaan yang kurasakan. Aku tak akan menempuh jalan pintas untuk lepas dari penderitaan ini lewat kematian, seperti yang sering terjadi selama ini. Telah begitu banyak perempuan yang bemasib buruk sepertiku memilih bunuh diri, karena terus-menerus dihina.
Aku harus hidup! Andaipun aku dipaksa mati, aku telah berusaha berjuang menuntut keadilan. Perjuanganku ini bukan hanya untukku, namun untuk semua kaum perempuan. Aku berharap kelak hukum akan dilaksanakan seadil-adilnya. Tidak berpihak atau menguntungkan kaum laki-laki, orang kaya atau mereka yang lebih tinggi derajatnya.
Pada kesempatan ini aku mengucapkan rasa terima kasihku pada semua pihak yang merasa peduli dan simpati kepadaku. Meski semuanya itu tidak akan mengembalikan keutuhan yang pernah kumiliki, semakin menyemangati dan membuatku lebih berani.
Secara pribadi aku kembali menyampaikan rasa terima kasih kepada Yang Mulia Presiden atas penerimaannya, ungkapan simpatinya, serta bantuan yang diberikan kepadaku. Beliau berjanji untuk lebih memperhatikan kondisi sosial kehidupan masyarakat di pedesaan. Beliau menugaskan aparat pemerintahan di daerah dan di pedesaan untuk lebih mengawasi pelaksanaan hukum adat.
Aku yakin presiden akan memenuhi janjinya tersebut. Namun semua itu tidak akan mudah, tanpa adanya peran dari kita semua dalam memperbaiki keadaan. Untuk itu uang bantuan yang kuterima kuperuntukkan membangun dua gedung sekolah dasar. Satu gedung untuk murid perempuan dan gedung yang satu lagi untuk murid laki-laki.
Menurutku, pendidikan merupakan jalan terbaik untuk meraih perubahan sosial. Aku berharap kelak dari sekolah tersebut lahir generasi-generasi trampil yang mampu memajukan desa dan negeri kita ini. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya."
***
Kini di desa tersebut telah berdiri dua gedung sekolah dasar. Menteri Pendidikan berkenan hadir dan meresmikan sekolah dasar tersebut. Pemerintah menjamin akan menggratiskan biaya pendidikan bagi seluruh murid. Masyarakat menyambut gembira dan berterima kasih. Namun masyarakat lebih berterima kasih kepada Mai yang dianggap sangat berjasa, meski dibarengi pengorbanannya yang mahal. Sebagai ungkapan simpati dan terima kasih, masyarakat sepakat menetapkan nama Mai sebagai nama dari sekolah dasar tersebut.
Sampali, Juni 2005
Ia (Lelaki tak Sesekali Menghati Benci)
Jangan beranggapan hubungan kami adalah perselingkuhan. Ia tak serendah itu. Ia bukan petualang. Bukan hidung belang yangsenang gonta-ganti pasangan. Musang berbulu ayam. Berpura akrab, justru pasang perangkap. Ia tak bermaksud merusak rumah tanggaku. Sebaliknya, ia juga tidak ingin tampil dan dianggap sebagai pahlawan menyelamatkanku dari prahara melanda. Baginya dalam konteks ini, perusak atau pahlawan sama saja.
Ketulusannya mencintaiku pada gilirannya meluluhkan hatiku. Aku tak mampu bertahan untuk mengungkap apa yang kini kurasakan. “Aku pun mencintaimu.” Itu kuutarakan padanya saat iamenghubungiku. Tepat sebulan setelah ia mengungkap perasaan cintanya padaku. Dan selama sebulan itu setiap kali kami bertemu tak pernah ia menyinggung dan mendesakku untuk memberi jawaban. Padahal aku telah berjanji untuk tak mengungkap perasaanku itu padanya. Biarlah bersemi dan tersimpan di hati. Itu lebih baik dan abadi selamanya. Mungkin kalian anggap aku tak berkepastian dalam hal ini. Jiwaku tengah labil. Baru kemudian aku menyadari akibat dari kesalahan melepas anak panah dari busur. Aku telah melukai perasaan suamiku. Hatinya tentu hancur, justru disaat suamiku mencoba memperbaiki sikapnya demi keutuhan kembali rumah tangga kami.
***
Jadi sekali lagi tolong jangan bebani aku dengan vonis salah. Keputusanku untuk tak menghubungi dan kembali betemu dengannya, memang tak sepenuhnya dating dariku. Itu adalah komitmen antara aku dan suamiku setelah kuceritakan segalanya. Suamiku pun telah menyadari sikap salahnya telah mengkondisikan diriku. Aku yakin, lelaki yang tulus mencintaiku itu, akan dapat memahami dan menerima kenyataan. Ia lelaki yang tegar, meski sesaat hatinya pasti kecewa dalam siksa rindu kehilangan diriku. Ia lelaki yang berkali merasakan luka-duka. Tapi, ia juga lelaki yang tak pernah menyimpan benci, apalagi dendam di hati.
(Kota Pinang, 06-08)
Duka Tia
Tiada yang aneh atau terasa lain di hari ini pada perasaan Tia. Mimpi yang menyentaknya dari tidur pun, dianggapnya sesuatu yang alami. Hanya bunga-bunga tidur yang setiap orang pasti mengalami. Bisa jadi Tia tak menangkap isyarat tersirat dari mimpi. Tak ada firasat yang mendetaki hati. Dalam tidur Tia bermimpi pergi dari rumah. Ia tulis pesan singkat untuk suaminya: “Aku akan ke satu tempat untuk menenangkan hati.” Ditaruhnya kertas itu di atas meja tamu. Sekilas matanya menoleh ke pintu kamar lain yang tertutup rapat. Suaminya tidur di kamar itu. Sudah seminggu lebih mereka pisah ranjang, akibat bertengkar. Tia bergegas ke luar.
Tia tiba di satu taman yang lengang. Semilir angin menemaninya mengitari taman itu. Tia merasakan betapa damainya kehidupan tanpa rutinitas pertengkaran. Tiada saling curiga dan cemburu buta. Tak ada kekangan membuatnya tertekan perasaan. Ia merasa menemukan kebahagiaan. Suasana sekian lama ia rindukan. Sayang hanya sesaat, entah mengapa tiba-tiba angin bertiup kencang. Wajahnya serasa ditampari dan sekujur tubuhnya bak dijamah tangan-tangan kasar. Seperti kekasaran yang berkali ia rasakan. Tia ketakutan. Berlari dan terus berlari mencari tempat berlindung. Satu-satunya tempat paling aman baginya justru kamar tidur. Mengunci pintu, lalu terserah maunya. Berteriak sekerasnya, menangis sepuasnya, atau diam, hingga gejolak hatinya mereda.
Saban kali pertengkaran terjadi dan emosi suaminya tak terkontrol, ia segera masuk ke kamar. Gedoran keras dan kalimat kasar atau ketukan dan bujukan lembut, tak dihiraukannya. Kini dalam ketakutan ia mendengar ketukan pintu. Sesaat senyap, kemudian ketukan itu kembali terdengar. Ketakutan masih menjalari dan Tia sembunyi pada diamnya. Ketukan kembali terdengar dibarengi suara seseorang. “Buka pintunya adik, abang sebegitu merindu.” Tia terpana. Suara itu seperti suara Yuri. Tia tak percaya, apakah Yuri yang mencintainya yang mengetuk pintu. Tia kembali pada diamnya dan sesaat senyap menyelimut suasana.
“Jika adik tak bersedia membuka pintu, abang tak memaksa. Abang bahagia bisa mengungkap rasa rindu. Sekarang abang pergi. Selamat tinggal.”
Tiba-tiba Tia merasakan belaian lembut angin menjamah wajah. Tia seakan merasakan kembali sentuhan jemari Yuri saat mereka berduaan. Perjumpaan mereka terakhir kali. Pada saat itu Tia menerima cinta Yuri. Kenangan manis itu menyentaknya. ‘Pergi? Selamat tinggal?’ dua tanya mendetaki hatinya. “Jangan pergi, bang!” jeritnya tertahan.
Pagi tiba memuram dalam mendung. Tia bergegas bersiap diri berangkat kerja. Mempersiap sarapan seadanya, lalu tanpa sepatah kata sapa mengetuk pintu kamar di mana suaminya tidur. Tiada sahutan dan Tia merasa tak perlu menunggu.
Hatinya masih terluka akan pertengkaran yang entah kali keberapa. Pertengkaran yang tak jarang menyisakan gores luka. Tia tak bisa berbohong untuk menutupi apa yang terjadi pada dokter pribadinya. Sang dokter yang memeriksa luka di bibirnya tau pasti luka itu akibat pukulan. Bukan akibat jatuh terbentur.
Entah mengapa Tia masih bertahan menjalani kehidupan demikian. Bukan tak pernah ia berontak dan pergi dari rumah sekian hari, namun luluh juga saat suaminya membujuknya pulang. Pekerjaan yang ia jalani pun sesungguhnya sebentuk pemberontakan. Ia tak ingin terkungkung seharian di rumah. Sebenarnya Tia maklum suaminya tipe lelaki dominan. Pencemburuan saat mereka taraf pacaran. Meski berlebihan, masih dianggapnya wajar. Banyak lelaki yang demikian. Dulu Tias berharap sikap tersebut akan berkurang setelah mereka menikah. Nyatanya yang terjadi malah bertambah parah. Tia tidak ingin dicemburui, dicurigai dan terlalu diawasi. Ini membuatnya serba salah. Ia merasa harus melangkah di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Jangan sampai basah kuyup. Tak boleh berteduh, karena harus tepat waktu. Bagaimana mungkin?
Tia melangkah menyusuri jalanan berbasah. Hujan semalaman menyisa genangan air di banyak tempat. Patahan reranting dan dedaunan gugur berserakan. Dua tiga helai daun lekat di sepatunya. Tia setengah jongkok membersihkan sepatu. Saat berdiri, seseorang tiba-tiba saja telah berada di hadapannya.“Yuri!” seru Tia kaget.
Yuri tersenyum tipis. Mengulurkan tangan dan berkata, “Abang sebegitu merindukanmu.”
Dingin angin berkelebat seketika. Tia merasakan kedinginan itu pada genggaman Yuri. Betapa Tia ingin menyahut mengungkap kerinduan yang juga ia rasakan. Entah mengapa bibirnya justru terkatup. Yuri tau dan menyadari apa yang Tia rasakan. “Tak perlu menjawab, dik. Abang mengerti, waktu telah tiba. Satu permintaan abang, jangan sesekali adik berpaling. Melangkahlah.”
Bel berbunyi, ketika Tia berada di depan gerbang lembaga pendidikan tempatnya mengajar. Hatinya tertanya akan ucapan Yuri. Apa yang dimaksud Yuri, jangan sesekali berpaling? Tia menoleh, tapi Yuri tak lagi ada dilihatnya. Secepat itukah Yuri pergi? Seperti sekelebat angin. Tia seakan merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa?
Hampir sepenjang jam mengajar gelisah menderanya. Tia kehilangan konsentrasi. Selalu saja ia teringat Yuri. Yuri seperti hadir di hadapannya. Tia meraih hp coba menghubungi telepon rumah Yuri. Dua kali yang terdengar hanya nada sibuk. Tia menunggu beberapa saat, lalu mencoba kembali. Lagi-lagi nada sibuk terdengar.
Tia memutuskan menghubungi Sujadi, sahabat Yuri sesama penulis. Menceritakan sekilas pertemuannya dan kegelisahan yang tengah dirasakannya.
“Kemarin kami masih bertemu. Selepas magrib Yuri beranjak pergi tanpa mengatakan hendak ke mana. Hanya ‘ Ada janji yang mesti kutepati,’ sahutnya. Hanya itu, dik.”
“Coba abang upayakan menghubunginya. Jika ada khabar, sampaikan pada Tia ya.”
Dalam ruangan terjadi keriuhan. Murid-murid berteriak bukan lantaran mendengar bel usai jam pelajaran. Mereka heboh mengerumuni Bu Tia yang tiba-tiba terkulai tak sadarkan diri. Sebelum bunyi bel mereka mendengar bunyi hp dan melihat Bu Tia mengeluarkan hp dari tas. Seorang staf pengajar yang meraih hp itu dan membaca pesan singkat yang tertera.
***
Tia berupaya tegar melangkah memasuki rumah duka yang disesaki pentakziah. Ia terisak dan matanya sedemikian sembab. Jenazah Yuri berlapis kain kafan terbujur di hadapannya. Tangis sanak keluarga pecah tak tertahan saat diberi kesempatan terakhir melihat wajah Yuri. Tia merasa tubuhnya sedemikian ringan. Bagai mengambang. Nyaris tak dirasakannya jemari mungil gadis kecil menggamit lengannya.
“Ibu Tia, ya? Papa pernah memperlihatkan photo ibu. Papa berjanji akan mempertemukan ibu pada Yuni. Kata papa…”
Tia sontak merangkul gadis itu. Membelainya dalam tangisan. Keharuan kian menjalari ruangan. Prosesi pelepasan dan keberangkatan jenazah Yuri kini tiba pada penyampaian kata-kata takziah. Penawar duka bagi sanak keluarga yang yang ditinggal. Namun duka adalah sebentuk perasaan yang sebegitu cepat menjalari hati, lalu mengendap di dasar paling dalam. Itu yang dirasakan segenap pentakziah. Apalagi di saat Sujadi yang mewakili sahabat almarhum, membacakan puisi:
“terhenyak di duka menyentak
kita baru saja bersamabercerita
hingga lelangit malam memuram
kita pun beranjak
pagi tiba bersama sepenggal berita kau telah tiada
tiada pertanda, meski berkali puisimu menuang rindu abadi
sehelai kain merah terpacak, perkabungan pun merebak
sahabat, menatapmu dalam diam
duka ini serasa kian mendalam
kini kau pergi penuhi janji abadi
selamat jalan sahabat
di hati kami,
kau tetap dekat karyamu selalu melekat
Medan , 0608
Sabtu, 29 Oktober 2011
Disbudpar Kota Medan Gelar Acara Seni Sastra
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan menggelar kegiatan acara seni sastra. Kegiatan yang berlangsung di Taman Budaya Sumatera Utara, (22 – 23/ 10) tersebut bertajuk “Lomba Baca Puisi Penyair dan Lomba Cipta Cerpen” dan kegiatannya dilaksanakan oleh Laboratorium Sastra (Labsas) Medan.
Menurut Ketua Panitia Pelaksana dan Ketua Labsas Medan, Afrion, lomba baca puisi penyair dan lomba cipta cerpen diikuti peserta dari kalangan pelajar, mahasiswa dan umum. “Selain lomba juga digelar pameran puisi dan potret penyair, pameran cerpen dan potret cerpenis karya sastrawan muda Sumatera Utara,” ujar Afrion kepada Batak Pos.
Pada hari pertama acara lomba baca puisi penyair (22/10), diikuti 75 peserta dan di hari penutupan diikuti 75 peserta, berlangsung di pentas terbuka Taman Budaya Sumatera Utara. Sementara lomba cipta cerpen diikuti 97 peserta berlangsung di seputaran halaman Taman Budaya Sumatera Utara.
Pada acara penutupan selain dihadiri para peserta lomba, beberapa guru dan orang tua peserta, komunitas seni sastra, penggiat dan penikmat sastra, masyarakat umum, juga dihadiri pejabat dari instansi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan.
Sebelum penutupan acara, Kasi Kebudayaan Disbudpar Al Kausar Deaysa, menyampaikan laporan tentang kegiatan tersebut. Acara tersebut kemudian ditutup oleh Kabid Kebudayaan Disbudpar Kota Medan, Drs Mansyur Usman yang pada kesempatan tersebut menyampaikan permohonan maaf, karena Kadisbudpar Kota Medan tidak dapat hadir.
Kadis dalam sambutannya yang dibacakan oleh Kabid Kebudayaan, mengharapkan acara tersebut dapat menjadi momentum untuk menghasilkan karya sastra berkualitas, sehingga ke depannya akan lahir penyair-penyair terkenal dari Kota Medan, seperti halnya Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane.
Hasil dari perlombaan yang disampaikan dewan juri, juara pertama hingga harapan ketiga lomba baca puisi: Tiflatul Husna, Winda Sriana, Rika Febrianti, Ardiani, Robby Subrata, dan Cut Cahyani.
Untuk lomba cipta cerpen para juaranya: Hasudungan Rony Sitohang, Lestari Lasma Sibarani, Budi S Sihombing, Tiflatul Husna, Ulfa Zaini, dan Mohammad Anhar. Kepada para pemenang diserahkan uang pembinaan, trophy, sertifikat dan bingkisan berupa buku sastra.
Acara penutupan tersebut juga dimeriahkan pembacaan puisi oleh Komunitas Mahasiswa Pencinta Sastra Indonesia (Kompensasi) dan Komunitas Tanpa Nama (Kontan), serta musikalisasi puisi oleh Sanggar Seni Generasi. MYR
Menurut Ketua Panitia Pelaksana dan Ketua Labsas Medan, Afrion, lomba baca puisi penyair dan lomba cipta cerpen diikuti peserta dari kalangan pelajar, mahasiswa dan umum. “Selain lomba juga digelar pameran puisi dan potret penyair, pameran cerpen dan potret cerpenis karya sastrawan muda Sumatera Utara,” ujar Afrion kepada Batak Pos.
Pada hari pertama acara lomba baca puisi penyair (22/10), diikuti 75 peserta dan di hari penutupan diikuti 75 peserta, berlangsung di pentas terbuka Taman Budaya Sumatera Utara. Sementara lomba cipta cerpen diikuti 97 peserta berlangsung di seputaran halaman Taman Budaya Sumatera Utara.
Pada acara penutupan selain dihadiri para peserta lomba, beberapa guru dan orang tua peserta, komunitas seni sastra, penggiat dan penikmat sastra, masyarakat umum, juga dihadiri pejabat dari instansi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan.
Sebelum penutupan acara, Kasi Kebudayaan Disbudpar Al Kausar Deaysa, menyampaikan laporan tentang kegiatan tersebut. Acara tersebut kemudian ditutup oleh Kabid Kebudayaan Disbudpar Kota Medan, Drs Mansyur Usman yang pada kesempatan tersebut menyampaikan permohonan maaf, karena Kadisbudpar Kota Medan tidak dapat hadir.
Kadis dalam sambutannya yang dibacakan oleh Kabid Kebudayaan, mengharapkan acara tersebut dapat menjadi momentum untuk menghasilkan karya sastra berkualitas, sehingga ke depannya akan lahir penyair-penyair terkenal dari Kota Medan, seperti halnya Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane.
Hasil dari perlombaan yang disampaikan dewan juri, juara pertama hingga harapan ketiga lomba baca puisi: Tiflatul Husna, Winda Sriana, Rika Febrianti, Ardiani, Robby Subrata, dan Cut Cahyani.
Untuk lomba cipta cerpen para juaranya: Hasudungan Rony Sitohang, Lestari Lasma Sibarani, Budi S Sihombing, Tiflatul Husna, Ulfa Zaini, dan Mohammad Anhar. Kepada para pemenang diserahkan uang pembinaan, trophy, sertifikat dan bingkisan berupa buku sastra.
Acara penutupan tersebut juga dimeriahkan pembacaan puisi oleh Komunitas Mahasiswa Pencinta Sastra Indonesia (Kompensasi) dan Komunitas Tanpa Nama (Kontan), serta musikalisasi puisi oleh Sanggar Seni Generasi. MYR
Langganan:
Postingan (Atom)