Sketsa Anak Harapan
Karya
: Nasib TS
Serombongan anak yang kemarin kita
lepas
dari gerbang almamater tidak sekadar
membebaskan beban
dari pundak Ki Hajar Dewantara
yang kini bertahta di setiap puncak
menara gading akademis
menjunjung tinggi amanah falsafah TUT
WURI HANDAYANI
Serombongan anak yang kemarin kita
lepaskan
dari tuntutan akademis menambah
jubelan
di luar gerbang almamater
Mereka berjalan dengan langkah
melayang dikoyak angin
Pusaran waktu dan zaman memusingkan
kepala
Sebab, antara program dan kemungkinan
lain
lebih dari sekadar matematika atau
data statistika
dan hidup memang bukan teka-teki
silang!
(Diam.
Ruangan itu sudah lama ditinggalkan.
Bangku-bangku sepi kosong tinggal
kenangan...)
“Bukan kemerdekaan namanya kalau
orang tak bebas menuntut apa yang menjadi hak. Dan kamu telah berangan-angan. Demikian enakkah? Kamu
bukan tukang mimpi. Harapan milikmu. Dan ini bukan janji tanpa karsa,
perjuangan dan kerja keras…”
Demi sebuah kesempatan,
serombongan anak yang kemarin kita
lepaskan
dari gerbang almamater
menuntut ramai ke jalanan resmi
di desa maupun kota
Sebab namaku juang anak ibu pertiwi
Rindu pulang pada harapan
KAU-lah PAHLAWAN
Karya
: Helmy Fenisia
Setelah kujejak langkah
Meninggalkan waktu yang kian melaju
Bersama asa dan cita – cita
Kini kuberdiri di atas jaya
Namun kusadar
Semua tak mungkin datang begitu saja
Teringat saat kueja kata pertama
Semua itu karena dirimu
Ketika kau tuang ilmu
Pada gelas kehidupanku
Kuteguk dan tak kusisakan haus
Kuingat pada pahlawan tanpa jasa
Yang membimbingku untuk melangkah
Saat ini setelah masa merenggut jumpa
Kita berdiri di sini merenda cerita
Beda..tentu saja…sebab waktu memisah
sekian lama
Namun kau tetap pahlawan
Yang membawaku menang
Meraih masa depan
Tentang Rasa
Karya : Idris Siregar
Sepeninggal surat ini
Jangan pernah kita ceritakan lagi
kisah
pada malam malam memutih
saat bulan dan bintang sembunyi
di balik dua hati yang berseri
lalu jam berdetak menuakan musim
silampun berganti antri menuju masa
tak kala pagi itu
terlanjur kau dan aku membenci
perasaan
yang semkian tak tercatat dalam
almanak
maka, biarkan aku yang memilih
mencari ruang lain buat senyum ini
maka biar aku yang berlari
mencari ruang lain buat batin ini
sepeninggal surat ini
jangan pernah merasa!
Daun – Daun Gugur
Karya : M.Raudah Jambak
Daun daun gugur berterbangan ditiup
angin
Menari sendiri dengan
Musiknya senidri
Tariannnya membatasi musim-musim pada
kemarau
Hati yang jatuh di permukaan tanah
yang kerontang
Tersentuh olehku elusan kematian
Riuh rendah di antara nafas-nafas
resah, perhiasan di ruang ventilasi hidup, yang gelisah dalam bentang waktu
yang pengap, Burung pun tak ingin lagi bernyanyi, menari dengan musiknya
sendiri atau apa saja yang menghiasi cinta hari ini
Di pekarangan rumah, seperti pasukan
pemburu melepaskan anak-anak panah pada mangsanya.
Memenuhi zona perjuangan tanpa
melempangkan ruang sasaran, ruang peperangan. Anak- anak yang bermain tetap
pada kekanakannya, berlari, meloncat, berteriak, menangis, tertawa, minum, dan
makan di suapan kasih sayang ibunya setelah lelah atas segalanya dalam
kesenangan dan kesedihan. Dan digurat-gurat wajah tak ada kesan yang
menjanjikan . Dipenjelajahan belukar
yang kutembus hanya daun-daun gugur, jalan telah kubuka untuk kau lewati
Nyanyian Anak Kecil
Karya Suyadi San
Pak, Belikan aku permen mainan
Biar aku senang punya banyak kawan
Pak, Belikan aku bulan mainan
Biar kusuruh ombak bergurauan
Pak, Nantikan aku di ujung zaman
Biar
aku selamat di tempat tujuan
Pak, Songsongkan aku nyanyian malam
Biar kutangisi baju silamku
Pak,Tolong tanyakan pada sang awan
Apakah aku bisa bertanya
Mengapa bintang tak lagi berwarna
Pak, aku ingin kemerdekaan
Tanpa kawan dan ancaman
Pak, Jangan biarkan berteman
Nanti aku kehilangan marwah yang
diselipkan ibu dalam pangkuan
Pak, Biar kupanah saja kemajuan zaman
Biar kupanah saja kemajuan zaman
Pak, Kan kutanya lagi ke mana dikau
Rindu kenangan masa silam
Tertatih-tatih aku ,
menyelusuri ombak
Dipermainkan mabuk kemudharatan
Tak kan kutanya lagi ke mana dikau
Sebab aku sudah cukup senang
keterasingan
MEDAN BUKAN MESAWANG
Karya : Hidayat Banjar
Gurupatimpus tiba dan membuka lahan
didapatnya air sebening kaca,
hewan dan pepohonan tak bercuriga
lalu ia bersorak ke angkasa: Madan
orang-orang pun berdatangan
tempat itu bukan mesawang
beratus tahun kemudian, Guru membatu
jadi tugu tak berjiwa
Medan, rumah besar kita
dalam keniscayaan sejarah, berubah
keluarga besar kita
dalam keniscayaan sejarah, berubah
rumah dan keluarga besar kita
dalam keniscayaan sejarah, melapuk
pundamen yang didirikan Patimpus
tergerus
di sini tidak ada lagi kepala
kampung
yang berperan sebagai ayah pengasih
berganti Bapak yang membentak
ketika anak-anak keliru melangkah
di sini tidak ada lagi tetes embun
menyejukkan
berganti air mendidih melepuhkan
tidak ada lagi mentari hangat
berganti terik menyiksa
kita senantiasa menajamkan ujung
penjarum
untuk saling tusuk mengokohkan
pendulum
anak-anak yang tak punya dahan
bergantung
tercerai berai ditiup angin peradaban
urban
akankah kita biarkan Medan jadi
mesawang?
Bapak, berperanlah sebagai ayah,
tatalah kota
dengan bahasa rakyat yang adalah
anak-anakmu jua
janganlah terus-menerus menggusur
pedagang kaki lima
dan orang-orang jalanan atas nama
keteraturan
Bapak, sesekali bukalah baju
kekuasaanmu
berbaurlah dengan rakyat agar kau
paham
pedagang kaki lima, asongan dan
lainnya
adalah anak-anakmu jua
penyangga kaki-kaki perdaban urban
ayo lepaskan bujumu sesekali saja
agar Patimpus dapat berteriak ke
mana-mana
: Medan bukan mesawang
*Mesawang, kosakata Batakkaro yang
artinya kira-kira sunyi, lapangan yang luas, berada di tempat yang tinggi
sehingga membuat gamang (takut atau menakutkan). Kata kesawan boleh jadi
berasal dari mesawang
Rum 1965
Karya
: Jones Gultom
Tidurlah Rum, besok pagi-pagi sekali
kau harus bergegas
perang ini terlalu dingin untukmu
kau masih terlalu muda untuk sebuah
kepala
ini bukan kali yang pertama
ibu paham betul baunya; angin yang
kaku, langit yang rapuh
dan semesta yang beku
setelah itu kepala-kepala,
darah-darah,
menempel di daun pintu.
tak perlu lagi kau menangis
kita telah kehabisan airmata
tugasmu cukup menuliskan sejarah
Tidurlah, biar ibu yang menunggu
kau belum pantas memilih; mati atau
mati!
tak perlu kau meninggalkan tempat
tidurmu
hanya karena kami yang salah
membangun rumah sendiri
Tidurlah langit mulai menghitam
telah kusembunyikan bulan untukmu
kira-kira tujuh langkah dari tempat
bapakmu dulu dihabisi
kelak bila kau dewasa
tanamlah sebatang pohon di sana
dan bila kau rindu, panjatlah
rantingnya
lihatlah ke langit, di sana
bapak-ibumu ibu sudah menunggu.
Tidurlah Rum... tidurlah
meski hari ini tak ada nasi yang
mengenyangkan perutmu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar