Rabu, 24 Oktober 2012

PUISI-PUISI LOMBA BACA PUISI RUMAH KATA 2012



Sketsa Anak Harapan
Karya  : Nasib TS

Serombongan anak yang kemarin kita lepas
dari gerbang almamater tidak sekadar membebaskan beban
dari pundak Ki Hajar Dewantara
yang kini bertahta di setiap puncak menara gading akademis
menjunjung tinggi amanah falsafah TUT WURI HANDAYANI

Serombongan anak yang kemarin kita lepaskan
dari tuntutan akademis menambah jubelan
di luar gerbang almamater
Mereka berjalan dengan langkah melayang dikoyak angin
Pusaran waktu dan zaman memusingkan kepala


Sebab, antara program dan kemungkinan lain
lebih dari sekadar matematika atau data statistika
dan hidup memang bukan teka-teki silang!


(Diam.
Ruangan itu sudah lama ditinggalkan.
Bangku-bangku sepi kosong tinggal kenangan...)

“Bukan kemerdekaan namanya kalau orang tak bebas menuntut apa yang menjadi hak. Dan kamu  telah berangan-angan. Demikian enakkah? Kamu bukan tukang mimpi. Harapan milikmu. Dan ini bukan janji tanpa karsa, perjuangan dan kerja keras…”

Demi sebuah kesempatan,
serombongan anak yang kemarin kita lepaskan
dari gerbang almamater
menuntut ramai ke jalanan resmi
di desa maupun kota

Sebab namaku juang anak ibu pertiwi
Rindu pulang pada harapan






KAU-lah PAHLAWAN
Karya  : Helmy Fenisia

Setelah kujejak langkah
Meninggalkan waktu yang kian melaju
Bersama asa dan cita – cita
Kini kuberdiri di atas jaya

Namun kusadar
Semua tak mungkin datang begitu saja
Teringat saat kueja kata pertama
Semua itu karena dirimu

Ketika kau tuang ilmu
Pada gelas kehidupanku
Kuteguk dan tak kusisakan haus

Kuingat pada pahlawan tanpa jasa
Yang membimbingku untuk melangkah

Saat ini setelah masa merenggut jumpa
Kita berdiri di sini merenda cerita
Beda..tentu saja…sebab waktu memisah sekian lama
Namun kau tetap pahlawan
Yang membawaku menang
Meraih masa depan




Tentang Rasa
Karya : Idris Siregar

Sepeninggal surat ini
Jangan pernah kita ceritakan lagi kisah
pada malam malam memutih
saat bulan dan bintang sembunyi
di balik dua hati yang berseri

lalu jam berdetak  menuakan musim
silampun berganti antri menuju masa
tak kala pagi itu
terlanjur kau dan aku membenci perasaan
yang semkian tak tercatat dalam almanak

maka, biarkan aku yang memilih
mencari  ruang lain buat senyum ini
maka biar aku yang berlari
mencari  ruang lain buat batin ini

sepeninggal surat ini
jangan pernah merasa!



Daun – Daun Gugur
Karya : M.Raudah  Jambak

Daun daun gugur berterbangan ditiup angin
Menari sendiri dengan
Musiknya senidri
Tariannnya membatasi musim-musim pada kemarau
Hati yang jatuh di permukaan tanah yang kerontang
Tersentuh olehku elusan kematian
Riuh rendah di antara nafas-nafas resah, perhiasan di ruang ventilasi hidup, yang gelisah dalam bentang waktu yang pengap, Burung pun tak ingin lagi bernyanyi, menari dengan musiknya sendiri atau apa saja yang menghiasi cinta hari ini


Di pekarangan rumah, seperti pasukan pemburu melepaskan anak-anak panah pada mangsanya.
Memenuhi zona perjuangan tanpa melempangkan ruang sasaran, ruang peperangan. Anak- anak yang bermain tetap pada kekanakannya, berlari, meloncat, berteriak, menangis, tertawa, minum, dan makan di suapan kasih sayang ibunya setelah lelah atas segalanya dalam kesenangan dan kesedihan. Dan digurat-gurat wajah tak ada kesan yang menjanjikan . Dipenjelajahan belukar  yang kutembus hanya daun-daun gugur, jalan telah kubuka untuk kau lewati




Nyanyian Anak Kecil
Karya Suyadi San

Pak, Belikan aku permen mainan
Biar aku senang punya banyak kawan
Pak, Belikan aku bulan mainan
Biar kusuruh ombak bergurauan
Pak, Nantikan aku di ujung zaman
Biar  aku selamat di tempat tujuan
Pak, Songsongkan aku nyanyian malam
Biar kutangisi baju silamku
Pak,Tolong tanyakan pada sang awan
Apakah aku bisa bertanya
Mengapa bintang tak lagi berwarna


Pak, aku ingin kemerdekaan
Tanpa kawan dan ancaman
Pak, Jangan biarkan berteman
Nanti aku kehilangan marwah yang diselipkan ibu dalam pangkuan
Pak, Biar kupanah saja kemajuan zaman
Biar kupanah saja kemajuan zaman

Pak, Kan kutanya lagi ke mana dikau
Rindu kenangan masa silam
Tertatih-tatih aku ,
menyelusuri ombak
Dipermainkan mabuk kemudharatan
Tak kan kutanya lagi ke mana dikau
Sebab aku sudah cukup senang keterasingan


MEDAN BUKAN MESAWANG
Karya : Hidayat Banjar

Gurupatimpus tiba dan membuka lahan
didapatnya air sebening kaca,
hewan dan pepohonan tak bercuriga
lalu ia bersorak ke angkasa: Madan
orang-orang pun berdatangan
tempat itu bukan mesawang

beratus tahun kemudian, Guru membatu
jadi tugu tak berjiwa

Medan, rumah besar kita
dalam keniscayaan sejarah, berubah
keluarga besar kita
dalam keniscayaan sejarah, berubah
rumah dan keluarga besar kita
dalam keniscayaan sejarah, melapuk
pundamen yang didirikan Patimpus tergerus

di sini tidak ada lagi kepala kampung 
yang berperan  sebagai ayah pengasih
berganti Bapak yang membentak
ketika anak-anak keliru melangkah

di sini tidak ada lagi tetes embun menyejukkan
berganti air mendidih melepuhkan
tidak ada lagi mentari hangat
berganti terik menyiksa

kita senantiasa menajamkan ujung penjarum
untuk saling tusuk mengokohkan pendulum
anak-anak yang tak punya dahan bergantung
tercerai berai ditiup angin peradaban urban
akankah kita biarkan Medan jadi mesawang? 

Bapak, berperanlah sebagai ayah, tatalah kota
dengan bahasa rakyat yang adalah anak-anakmu jua
janganlah terus-menerus menggusur pedagang kaki lima
dan orang-orang jalanan atas nama keteraturan
Bapak, sesekali bukalah baju kekuasaanmu
berbaurlah dengan rakyat agar kau paham
pedagang kaki lima, asongan dan lainnya
adalah anak-anakmu jua
penyangga kaki-kaki perdaban urban

ayo lepaskan bujumu sesekali saja
agar Patimpus dapat berteriak ke mana-mana
: Medan bukan mesawang



*Mesawang, kosakata Batakkaro yang artinya kira-kira sunyi, lapangan yang luas, berada di tempat yang tinggi sehingga membuat gamang (takut atau menakutkan). Kata kesawan boleh jadi berasal dari mesawang


Rum 1965
Karya  : Jones Gultom


Tidurlah Rum, besok pagi-pagi sekali kau harus bergegas
perang ini terlalu dingin untukmu
kau masih terlalu muda untuk sebuah kepala
ini bukan kali yang pertama
ibu paham betul baunya; angin yang kaku, langit yang rapuh
dan semesta yang beku

setelah itu kepala-kepala, darah-darah,
menempel di daun pintu.
tak perlu lagi kau menangis
kita telah kehabisan airmata
tugasmu cukup menuliskan sejarah

Tidurlah, biar ibu yang menunggu
kau belum pantas memilih; mati atau mati!
tak perlu kau meninggalkan tempat tidurmu
hanya karena kami yang salah membangun rumah sendiri

Tidurlah langit mulai menghitam
telah kusembunyikan bulan untukmu
kira-kira tujuh langkah dari tempat bapakmu dulu dihabisi

kelak bila kau dewasa
tanamlah sebatang pohon di sana

dan bila kau rindu, panjatlah rantingnya
lihatlah ke langit, di sana bapak-ibumu ibu sudah menunggu.

Tidurlah Rum... tidurlah
meski hari ini tak ada nasi yang mengenyangkan perutmu!

Tidak ada komentar: