Rabu, 24 Oktober 2012
NILAI DAN FUNGSI SASTRA
Sastra = Pertunjukan kata-kata
Sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah sastra atau karya sastra : prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita akan memeroleh ”sesuatu” yang dapat memerkaya wawasan dan/atat meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.
Robert Frost menyebutkan, sastra ialah pertunjukan dalam kata. Ini berkaitan dengan seni. Jadi, dapat pula dikatakan bahwa sastra itu pada hakikatnya adalah pertunjukan dalam kata-kata. Dengan pertunjukan ini, sastra memiliki kekuatan untuk menghibur. Dengan adanya kata-kata yang menjadi komponen pentingnya, sastra juga memiliki potensi untuk mengajar. Pengajaran tidak mungkin berlangsung tanpa kata-kata meskipun pendidikan lebih efektif disampaikan melalui tindakan.
Hakikat sastra sebagai seni pertunjukan dalam kata dapat diterapkan kepada segala jenis sastra. Sastralah lagu rakyat yang dinyanyikan dan memberikan rasa senang kepada kita. Sastralah pada daun lontar yang ”mempertunjukkan” dan ”mengabadikan” buah pikiran dan renungan Mpu Kanwa tentang keagungan Raja Airlangga. Demikian pula sastralah yang mempertunjukkan seorang gadis Minang yang malang bernama Sitti Nurbaya. Sastralah yang menampilkan sosok seorang manusia yang terobsesi semangat mau hidup seribu tahun lagi dalam ”Aku” karangan Chairil Anwar.
Sebagai seni pertunjukan, sastra paling praktis jika dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya. Teks sastra yang ditulis ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, dapat ”dipertunjukkan” kapan dan di mana pun. Seni-seni lain tidak sepraktis sastra. Untuk menikmati seni tari, misalnya, diperlukan ruang khusus, waktu khusus, dan orang-orang khusus pula. Untuk menghibur diri dengan seni musik, kita memerlukan persiapan berikut manusia yang memainkan peralatan musik tersebut dalam waktu dan tempat tertentu.
Lalu, kenapa sastra harus menghibur? Menghibur bukan berarti membuat pembaca terpingkal-pingkal karena tak dapat menahan tawanya. Namun lebih kepada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita. Herman J. Waluyo (2006) memberikan istilah katarsis, yaitu pencerahan jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap keterbatasan individu yang sering kali melabrak posisi Tuhan. Memang, ada pengarang yang merepresentasikan karyanya sebagai hiburan dalam artian membuat pembaca hanyut dalam tawanya. Seperti cerita “Kambing Jantan” (2006) misalnya (maaf saya lupa nama pengarangnya) yang penuh dengan kekonyolan-kekonyolan. Namun entah kenapa karya-karya seperti ini sering dianaktirikan sebagai bukan karya sastra tetapi karya teenlit atau sastra prematur.
Jelaslah, sastra itu seni yang paling praktis bagi kita. Namun, seni yang paling praktis itu sering terabaikan. Apresiasi sastra kita terhadap sastra demikian rendahnya. Mengapa? Inilah yang perlu dicari jalan keluarnya.
Nilai Sastra
Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik.
Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama.
Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain adalah sebagai berikut:
(1) nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
(2) nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan;
(3) nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan;
(4) nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral, relligion value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
(5) nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Fungsi Sastra
Abdul Wachid B.S. secara eksplisit mengemukakan dalam buku kumpulan esai sastranya berjudul “Sastra Pencerahan” (2005) bahwa sastra berfungsi sebagai media perlawanan terhadap slogan omong-kosong tentang sosial kemasyarakatan. Sapardi (1979) mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:
a) Sudut pandangan ekstrim kaum Romantik misalnya menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup juga pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
b) Dari sudut lain dikatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller.
c) Semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Lantas apa fungsi sastra sebenarnya? Tidak terlalu susah namun dikatakan mudah pun juga tidak dalam menentukan fungsi sastra. Namun, pendapat Sapardi di atas adalah pendapat umum tentang fungsi sastra. Kenapa sastra berfungsi sebagai pembaharu? Seperti yang sudah disebutkan jauh di atas, sastra adalah ruang dinamis yang terus bergerak. Akan ada sesuatu yang baru dalam dunia kesastraan. Pendapat yang baru merupakan penyusunan kembali pendapat lama. Kadang-kadang menjadi inspirasi tiada tara. Keadaan yang dinamis ini tentunya tidak akan menciptakan kondisi yang adem ayem saja, tetapi karena sastra itu bergerak dan berpikir, maka polemik, kritik sana-kritik sini adalah hal yang lumrah.
Dari uraian di atas, fungsi sastra dapat dibagi pada beberapa hal.
1. Sastra sebagai pembentuk Wawasan Baru
Dalam membaca sastra, baik puisi maupun prosa, kita sebenarnya membentuk wawasan baru yang selama ini tidak muncul di dalam jiwa kita. Bagaimana sikap ibu yang baik, umpamanya, dapat kita lihat dalam sastra. Pada suatu saat sosok seorang ibu yang bijaksana kita baca di dalam sebuah novel karena kebijaksanaannya itu menyentuh batin kita. Pada saat lain, kebijaksanaan yang menyentuh itu tidak dapat kita terima lantaran kita telah membaca sebuah novel dengan sosok ibu yang lain yang sebenarnya lebih menyentuh daripada sosok ibu yang pertama. Keberadaan sastra seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sarana pembentuk wawasan baru bagi kita.
Bandingkan konsep ibu dalam sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani) dengan cerita Malin Kundang (anonim), dan roman Salah Asuhan (Abdoel Moeis).
2. Sastra sebagai pembentuk Kepribadian Bangsa
Apa yang dapat ditarik dari sebuah karya sastra dalam hal pembentuk kepribadian bangsa? Banyak sekali yang dapat ditarik dan diambil. Tidak hanya pada sastra Indonesia Modern, pada sastra Indonesia lama pun kita mendapatkan nilai kepribadian kita itu.
Nilai kesetiaan seorang istri kepada suami nyata dapat kita lihat pada banyak sastra kita. Nama Puti Subang Bagalang dalam sastra Minangkabau adalah nama tokoh mitos atau tokoh legenda yang dihubungkan dengan kesetiaan. Tunangan Puti Subang Bagalang yang bernama Magek Manandin dituduh mencuri sapi sehingga harus dibuang ke lurah dalam. Magek Manandin itu tidak pernah diharapkan untuk kembali oleh siapa pun. Akan tetapi, Puti Subang Bagalang tetap menanti kedatangannya itu walaupun dia sudah tahu bahwa Magek Manandin tidak akan pernah datang.
Ni Nogati dalam Setahun di Bedahulu (Armijn Pane) tidak mau menjadi orang yang tidak berguna. Kalau dia sekali dapat mengalihkan cintanya, tentu dia dapat mengalihkan cintanya untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Hal sama dapat terlihat pada kesetiaan Widuri terhadap suaminya walaupun dia tidak mencintai suaminya dalam Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar). Bagaimana dengan kamu?
3. Sastra sebagai sarana Fatwa dan Nasihat
Sastra banyak memberikan fatwa kepada pembaca baik secara langsung maupun tidak langsung. Fatwa yang ada itu dapat dipetik oleh pembaca sebagai pengetahuan yang baru. Akan tetapi, fatwa tersebut dapat pula dipandang sebagai penggugah, peremaja, peningkat, atau penyistem pengetahuan pembacanya. Fatwa dapat diserap pembaca setelah selesai membaca novel yang isinya dapat disimpulkan oleh pembaca sendiri. Fatwa dapat pula disimak dari peristiwa yang disampaikan tokoh-tokohnya.
4. Sastra sebagai Kritik Sosial Masyarakat
Kritik sosial dalam sastra dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sastra itu memang mengungkapkan kebobrokan masyarakat dan ketidakpuasan masyarakat terhadap apa-apa yang sudah dimilikinya. Jika manusia mendapat satu macam, mereka inginnya dua macam. Jika sudah mendapat dua macam, mereka ingin tiga macam. Begitulah terus-menerus ketidakpuasan itu terjadi pada diri manusia.
5. Sastra sebagai Catatan Warisan Kultural
Sekolah dan universitas memberikan pelajaran dan pengetahuan orang tentang Indonesia. Karya sastra mempunyai fungsi untuk itu secara tidak langsung. Kalau kita membaca karya sastra yang terbit pada tahun-tahun terdahulu, kita akan mengetahui tentang corak budaya pada masa novel itu ditulis. Novel Sitti Nurbaya yang terbit pada 1922 menyuarakan suatu kebudayaan, yang kebudayaan ”kawin paksa”. Pada tahun 1922 kebudayaan kawin paksa masih berlangsung. Pada tahun 1922 kebudayaan ”seorang penghulu atau pemuka masyarakat mempunyai istri lebih dari satu orang” hadir di tengah masyarakat. Bagaimana pula dengan novel Salah Asuhan-nya Abdoel Moeis (1928), Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1945), Hulubalang Raja Nur Sutan Iskandar (Balai Pustaka), Saman Ayu Utami, Laskar Pelangi Andrea Hirata atau Ayat-ayat Cinta Habiburrahman El Sirazy (2000)?
6. Sastra sebagai Pengalaman Perwakilan
Sastra, walaupun suatu karya fiktif, dapat memberikan informasi kepada kita tentang tempat-tempat yang kita belum tahu. Karya sastra juga akan memberi informasi tentang apa yang ada di suatu tempat yang tempat itu tidak sempat dikunjungi oleh pembaca. Pengalaman sastrawan tentang suatu tempat atau keadaan itu ditularkan kepada pembaca dengan karyanya, baik berupa sajak maupun novel. Melalui informasi yang ada di dalam sebuah sajak atau novel, kita mengetahui tempat-tempat penting atau keadaan-keadaan penting, situasi penting, dan sebagainya. Melalui pembacaan sajak yang termuat dalam buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, kita mengetahui bahwa daerah Karet adalah tempat pemakaman umum di Jakarta. Upacara karya Korri Layun Rampan merupakan sebuah novel yang bercerita tentang adat istiadat bermasyarakat atau cara bermasyarakat di Kalimantan, yaitu suku Dayak.
7. Sastra sebagai Manivestasi Kompleks Tertekan
Tidak sedikit karya sastra lahir dari suatu luapan perasaan yang paling dalam. Karya sastra menjadi suatu sublimasi dari ketertekanan sehingga bahasa, imaji, serta teknik penceritaannya menjadi meluap-luap. Oleh sebab itu, karya sastra jenis ini perlu dipahami karena di dalamnya terdapat ide atau gagasan yang ide dan gagasan itu tidak dapat muncul di alam sadar. Sajak ”Kembalikan Indonesiaku Padaku” karya Taufik Ismail merupakan salah satu sajak yang bersifat melampiaskan apa yang tidak dapat dikatakan melalui dunia biasa, alam sadar, atau alam normal. Hal sama dialami Iwan Simatupang. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Indonesia sudah kehilangan pribadi. Kecemasan dan kegelisahannya diungkapkannya dalam novel Kooong (1975). Dalam novel ini, Iwan mengkhawatirkan Indonesia yang penuh dengan kehidupan glamour ala Barat, padahal Indonesia mempunyai kehidupan tenang, dengan kokok ayam yang menyamankan hati, nyanyian burung yang merdu pada setiap tempat.
8. Sastra sebagai Manivestasi Keindahan
Sastra sebenarnya tulisan yang indah. Oleh sebab itu, sastra dapat memunculkan kenangan bagi pembacanya. Kesenangan itu disebabkan oleh kehadiran pengalaman baru bagi pembaca. Pembaca dapat mengembangkan imajinasinya untuk mengenal daerah atau tempat yang asing, yang belum dikunjunginya, atau yang tak mungkin dapat diungkapkan lewat sastra. Bentuk-bentuk baru yang dimunculkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan sajaknya yang aneh, membuat kita merasa senang karena kita menemukan yang baru, membaca hal baru, dapat memberikan nuansa indah baik tentang makna maupun bentuknya. Cara penceritaan Supernova (2001) karya Dewi Lestari juga memiliki kebaruan, yakni seperti silang antara gelang cerita dan inti cerita. Pada gelang cerita hadir Ruben dan Dhimas. Pada inti cerita hadir Ferre, Rara, dan Diva. Akan tetapi, pada suatu saat Diva dapat muncul pada gelang cerita.
PUISI-PUISI LOMBA BACA PUISI RUMAH KATA 2012
Sketsa Anak Harapan
Karya
: Nasib TS
Serombongan anak yang kemarin kita
lepas
dari gerbang almamater tidak sekadar
membebaskan beban
dari pundak Ki Hajar Dewantara
yang kini bertahta di setiap puncak
menara gading akademis
menjunjung tinggi amanah falsafah TUT
WURI HANDAYANI
Serombongan anak yang kemarin kita
lepaskan
dari tuntutan akademis menambah
jubelan
di luar gerbang almamater
Mereka berjalan dengan langkah
melayang dikoyak angin
Pusaran waktu dan zaman memusingkan
kepala
Sebab, antara program dan kemungkinan
lain
lebih dari sekadar matematika atau
data statistika
dan hidup memang bukan teka-teki
silang!
(Diam.
Ruangan itu sudah lama ditinggalkan.
Bangku-bangku sepi kosong tinggal
kenangan...)
“Bukan kemerdekaan namanya kalau
orang tak bebas menuntut apa yang menjadi hak. Dan kamu telah berangan-angan. Demikian enakkah? Kamu
bukan tukang mimpi. Harapan milikmu. Dan ini bukan janji tanpa karsa,
perjuangan dan kerja keras…”
Demi sebuah kesempatan,
serombongan anak yang kemarin kita
lepaskan
dari gerbang almamater
menuntut ramai ke jalanan resmi
di desa maupun kota
Sebab namaku juang anak ibu pertiwi
Rindu pulang pada harapan
KAU-lah PAHLAWAN
Karya
: Helmy Fenisia
Setelah kujejak langkah
Meninggalkan waktu yang kian melaju
Bersama asa dan cita – cita
Kini kuberdiri di atas jaya
Namun kusadar
Semua tak mungkin datang begitu saja
Teringat saat kueja kata pertama
Semua itu karena dirimu
Ketika kau tuang ilmu
Pada gelas kehidupanku
Kuteguk dan tak kusisakan haus
Kuingat pada pahlawan tanpa jasa
Yang membimbingku untuk melangkah
Saat ini setelah masa merenggut jumpa
Kita berdiri di sini merenda cerita
Beda..tentu saja…sebab waktu memisah
sekian lama
Namun kau tetap pahlawan
Yang membawaku menang
Meraih masa depan
Tentang Rasa
Karya : Idris Siregar
Sepeninggal surat ini
Jangan pernah kita ceritakan lagi
kisah
pada malam malam memutih
saat bulan dan bintang sembunyi
di balik dua hati yang berseri
lalu jam berdetak menuakan musim
silampun berganti antri menuju masa
tak kala pagi itu
terlanjur kau dan aku membenci
perasaan
yang semkian tak tercatat dalam
almanak
maka, biarkan aku yang memilih
mencari ruang lain buat senyum ini
maka biar aku yang berlari
mencari ruang lain buat batin ini
sepeninggal surat ini
jangan pernah merasa!
Daun – Daun Gugur
Karya : M.Raudah Jambak
Daun daun gugur berterbangan ditiup
angin
Menari sendiri dengan
Musiknya senidri
Tariannnya membatasi musim-musim pada
kemarau
Hati yang jatuh di permukaan tanah
yang kerontang
Tersentuh olehku elusan kematian
Riuh rendah di antara nafas-nafas
resah, perhiasan di ruang ventilasi hidup, yang gelisah dalam bentang waktu
yang pengap, Burung pun tak ingin lagi bernyanyi, menari dengan musiknya
sendiri atau apa saja yang menghiasi cinta hari ini
Di pekarangan rumah, seperti pasukan
pemburu melepaskan anak-anak panah pada mangsanya.
Memenuhi zona perjuangan tanpa
melempangkan ruang sasaran, ruang peperangan. Anak- anak yang bermain tetap
pada kekanakannya, berlari, meloncat, berteriak, menangis, tertawa, minum, dan
makan di suapan kasih sayang ibunya setelah lelah atas segalanya dalam
kesenangan dan kesedihan. Dan digurat-gurat wajah tak ada kesan yang
menjanjikan . Dipenjelajahan belukar
yang kutembus hanya daun-daun gugur, jalan telah kubuka untuk kau lewati
Nyanyian Anak Kecil
Karya Suyadi San
Pak, Belikan aku permen mainan
Biar aku senang punya banyak kawan
Pak, Belikan aku bulan mainan
Biar kusuruh ombak bergurauan
Pak, Nantikan aku di ujung zaman
Biar
aku selamat di tempat tujuan
Pak, Songsongkan aku nyanyian malam
Biar kutangisi baju silamku
Pak,Tolong tanyakan pada sang awan
Apakah aku bisa bertanya
Mengapa bintang tak lagi berwarna
Pak, aku ingin kemerdekaan
Tanpa kawan dan ancaman
Pak, Jangan biarkan berteman
Nanti aku kehilangan marwah yang
diselipkan ibu dalam pangkuan
Pak, Biar kupanah saja kemajuan zaman
Biar kupanah saja kemajuan zaman
Pak, Kan kutanya lagi ke mana dikau
Rindu kenangan masa silam
Tertatih-tatih aku ,
menyelusuri ombak
Dipermainkan mabuk kemudharatan
Tak kan kutanya lagi ke mana dikau
Sebab aku sudah cukup senang
keterasingan
MEDAN BUKAN MESAWANG
Karya : Hidayat Banjar
Gurupatimpus tiba dan membuka lahan
didapatnya air sebening kaca,
hewan dan pepohonan tak bercuriga
lalu ia bersorak ke angkasa: Madan
orang-orang pun berdatangan
tempat itu bukan mesawang
beratus tahun kemudian, Guru membatu
jadi tugu tak berjiwa
Medan, rumah besar kita
dalam keniscayaan sejarah, berubah
keluarga besar kita
dalam keniscayaan sejarah, berubah
rumah dan keluarga besar kita
dalam keniscayaan sejarah, melapuk
pundamen yang didirikan Patimpus
tergerus
di sini tidak ada lagi kepala
kampung
yang berperan sebagai ayah pengasih
berganti Bapak yang membentak
ketika anak-anak keliru melangkah
di sini tidak ada lagi tetes embun
menyejukkan
berganti air mendidih melepuhkan
tidak ada lagi mentari hangat
berganti terik menyiksa
kita senantiasa menajamkan ujung
penjarum
untuk saling tusuk mengokohkan
pendulum
anak-anak yang tak punya dahan
bergantung
tercerai berai ditiup angin peradaban
urban
akankah kita biarkan Medan jadi
mesawang?
Bapak, berperanlah sebagai ayah,
tatalah kota
dengan bahasa rakyat yang adalah
anak-anakmu jua
janganlah terus-menerus menggusur
pedagang kaki lima
dan orang-orang jalanan atas nama
keteraturan
Bapak, sesekali bukalah baju
kekuasaanmu
berbaurlah dengan rakyat agar kau
paham
pedagang kaki lima, asongan dan
lainnya
adalah anak-anakmu jua
penyangga kaki-kaki perdaban urban
ayo lepaskan bujumu sesekali saja
agar Patimpus dapat berteriak ke
mana-mana
: Medan bukan mesawang
*Mesawang, kosakata Batakkaro yang
artinya kira-kira sunyi, lapangan yang luas, berada di tempat yang tinggi
sehingga membuat gamang (takut atau menakutkan). Kata kesawan boleh jadi
berasal dari mesawang
Rum 1965
Karya
: Jones Gultom
Tidurlah Rum, besok pagi-pagi sekali
kau harus bergegas
perang ini terlalu dingin untukmu
kau masih terlalu muda untuk sebuah
kepala
ini bukan kali yang pertama
ibu paham betul baunya; angin yang
kaku, langit yang rapuh
dan semesta yang beku
setelah itu kepala-kepala,
darah-darah,
menempel di daun pintu.
tak perlu lagi kau menangis
kita telah kehabisan airmata
tugasmu cukup menuliskan sejarah
Tidurlah, biar ibu yang menunggu
kau belum pantas memilih; mati atau
mati!
tak perlu kau meninggalkan tempat
tidurmu
hanya karena kami yang salah
membangun rumah sendiri
Tidurlah langit mulai menghitam
telah kusembunyikan bulan untukmu
kira-kira tujuh langkah dari tempat
bapakmu dulu dihabisi
kelak bila kau dewasa
tanamlah sebatang pohon di sana
dan bila kau rindu, panjatlah
rantingnya
lihatlah ke langit, di sana
bapak-ibumu ibu sudah menunggu.
Tidurlah Rum... tidurlah
meski hari ini tak ada nasi yang
mengenyangkan perutmu!
Seminar Nasional Bahasa & Sastra Berkarakter Lokal Bertindak Global
Pembicaraan kekinian bahasa tidak terlepas dari peran bahasa itu dalam perjalanan masa lalu sampai kini. Bahasa memainkan peran dalam konsolidasi organisasi - Terutama sejak kebangkitan kebangsaan 1908 (Boedi Utoemo) dan memainkan peran dalam pencerdasan kehidupan masyarakat. Bahasa Indonesia bukan sekedar sarana/ alat berkomunikasi, namun mampu menjadi media ekspresi. Bahasa Indonesia sebagai media ekspresi terbukti jelas pada tercetusnya Sumpah pemuda (1928), dan Proklamasi kemerdekaan (1945).
Terkait dengan peran kebahasaan tersebut, Balai Bahasa Medan mengadakan Seminar Nasional Kebahasaan & Kesasteraan, Senin (22/10) di Santika Premiere Dyandra Hotel, Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan. Seminar bertema “Bahasa dan Sastra Berkarakter Lokal Bertindak Global” menghadirkan 4 pembicara: Dendy Sugondo (Peneliti Badan Bahasa Depdikbud RI), Prof Amrin saragih (Unimed), Prof Robert Sibarani (Guru Besar USU ), dan Prof Ikhwanuddin Nasution (USU). Bertindak sebagai pemandu seminar T Syarfina M. Hum dan Rosliani M. Hum.
Kepala Balai Bahasa medan T Syarfina M. Hum dalam sambutannya menyatakan, seminar yang diselenggarakan merupakan kegiatan Ilmiah tahunan dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra. Seminar ini diharapkan mampu merumuskan persoalan bahasa Indonesia di tengah arus global. Di samping itu, kita tidak melupakan karya-karya sastra kita yang merupakan khazanah kekayaan budaya kita.
Dendy Sugono menyatakan Budaya asing (termasuk bahasa asing) telah sedemikian jauh merambah ranah kita. Tatanan baru kehidupan dunia dan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi informasi dalam era globalisasi, telah menempatkan bahasa asing pada posisi strategis. Bahasa asing merambah memasuki sendi kehidupan bangsa dan mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Hal ini membawa perubahan gaya hidup dan prilaku masyarakat dalam berbahasa.
Dalam dunia pendidikan, penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan mulai meresahkan masyarakat. Sejumlah sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) menempatkan bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahasa resmi Negara ialah bahasa Indonesia. Pasal 33 UU No. 20 Tahun 2003 juga secara jelas menyatakan bahwa bahasa pengantar pendidikan nasional ialah bahasa Indonesia.
Amrin Saragih berpendapat, bahasa memegang peran utama dalam membentuk jati diri dan karakter bangsa. Jati diri yang didayagunakan secara operasional dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, merupakan karakter bangsa. Kemajuan suatu bangsa bersumber pada jati diri bangsa dan kemampuannya mendayagunakan karakter yang terealisasi oleh dan menyatu dengan bahasa.
Prof Robert Sibarani berpendapat bahwa tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Pengumpulan informasi tentang kelisanan sangat penting. Bersastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah masyarakat yang menggunakan bahasa lokal sebagai media utamanya. Dengan demikian pemahaman terhadap kearifan lokal sebagai nilai-nilai budaya luhur bangsa kita dapat dimamfaatkan sebagai pembentukan karakter bangsa
Masyarakat tidak bisa mengelak dari era globalisasi. Namun, gejala globalisasi di segala bidang harusnya disikapi dengan arif bijaksana. Globalisasi itu sendiri sangat diperlukan dan dimamfaatkan untuk kemajuan. Akan tetapi jangan terbuai dengan hal-hal negative dari globalisasi tersebut. Oleh karenanya nilai-nilai budaya dan kearifan lokal harus dijaga, dan direvitalisasi menjadi bagian karakter bangsa. Dengan kata lain, karakter lokal itu dapat dipergunakan untuk bertindak dalam era globalisasi. Menurut Ikhwanuddin Nasution, budaya lokal belum membumi Untuk itu Ikhwanuddin Nasution berharap para sastrawan khususnya di Sumatera Utara menggali nilai-nilai budaya lokal dalam berkarya. MYR
Langganan:
Postingan (Atom)