Cerpen M. Yunus Rangkuti
Aku mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Pengaruh minuman beralkohol memang kurasa, namun pikiranku masih normal. Kulirik arloji, hampir mendekati pukul satu dinihari. Jalan protokol yang kulalui begitu lengang. Hanya satu dua kenderaan melintas. Ruko-ruko telah pada bertutupan. Konsentrasiku masih terjaga. Aku meraih bungkus rokok di dash-board, hanya tersisa sebatang. Rokok kusulut, dan mengisapnya dengan tarikan lebih dalam. Kuturunkan sedikit kaca samping, angin malam menerpa wajahku dengan kencang. Aku merasa lebih nyaman.
Dari kejauhan, lampu pengatur lalulintas masih bewarna hijau. Pedal gas agak kutekan menambah kecepatan. Tiba-tiba saja dari sebalik kenderaan yang parkir, dua sosok berangkulan menyeberang. Aku tersentak. Klos kupijak dan menurunkan porsneling dan buru-buru memijak rem mencoba menurunkan kecepatan. Terlambat, mobilku menyambar satu dari mereka yang sempat reflek mendorong yang lainnya. Terdengar benturan dan jeritan. Aku sedemikian panik. Tak mampu mengendalikan laju kederaan. Mobilku meluncur menabrak trotoar, lalu terangkat menghantam tiang traffic light.
***
“Sudah, bung! Dari tadi Anda berdiri terus di situ. Lebih baik kita duduk-duduk di pojokan sana,” ajak seseorang membuyar ingatanku akan mimpi buruk itu. Tangannya berusaha melepaskan jemariku dari terali besi yang tak sadar kupegang erat. “Ayo bung!” Bahuku dirangkulnya. Tubuhku serasa lemah. Aku seakan kehilangan separuh tenaga.
“Nah, di sini kan lebih enak. Kita bisa ngobrol apa aja. Betulkan bung. Bah! hampir lupa, aku Tigor,” ujarnya menyodorkan tangan.
“Haris,” sambutku tanpa gairah.
“Oke, Bung Haris. Kalau boleh aku tau, apa yang jadi penyebab bung terdampar di sini? Maksudku, mengapa bung masuk penjara? ”.
“Aku telah membunuh seseorang,” jawabku datar. Lelaki di hadapanku tampak terkejut. “Kenapa terkejut, bung?”.
“Ah, tidak. Cuma, aku tak percaya itu. Aku lihat tampang bung bukan tipe seperti itu. Maksudku, tampang kriminal.”
“Terserah penilaian bung. Yang jelas aku telah membunuh seseorang.”
“Perkelahian? Bung terpaksa melakukannya? Lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang telah kulakukan. Aku merasa lelaki itu sedikit bisa membaca tipe seseorang. Aku jadi ingin tau pula tentangnya. Apa yang menjadi penyebab dia masuk penjara.
“Bukan. Bukan perkelahian. Aku telah menabrak…”
“Bah! Betul dugaanku. Tak mungkin bung telah membunuh,” potongnya cepat.
“Ya. Tapi, sama saja itu. Sama-sama membunuh.”
“Jelas beda bung! Kategori bung pelanggaran, bukan pembunuhan.”
“Pendapat bung betul. Masalahnya, tuduhan yang dikenakan padaku tidak hanya sebatas pelanggaran, tetapi ditambah unsur kesengajaan. Jelasnya aku dituduh sengaja melanggar untuk membunuh.”
“Bah! Mengapa begitu? Apa dia musuh bung?”
“Hanya orang sinting yang membunuh musuhnya dengan cara melanggar, sementara dia sendiri nyaris mampus, Kawan.”
“Jelasnya dia bukan musuh bung. Lantas, mengapa tuduhannya berkembang seperti itu?”
“Ini gara-gara perempuan sial itu!”
“Amangoi! Apa pula hubungannya dengan perempuan?”
“Kejadiannya memang bermula dari perempuan itu. Mau bung mendengar ceritanya?”
“Teruskan bung. Aku jadi tertarik.”
***
Satu waktu ada relasi menghubungi dan mengajakku makan siang untuk membicarakan bisnis yang akan ditawarkannya. Kami memilih restoran yang terletak di sudut perempatan jalan. Seorang waitress menyerahkan daftar menu seraya menghadiahkan senyum teramat manis. Wajahnya tampak cantik di mataku. Tubuh serta cara dia melangkah membuatku terpesona. Sejak saat itu, tanpa harus diajak pun, aku selalu menyempatkan diri makan ke restoran itu.
Kami berkenalan dan berkembang menjalin hubungan akrab. Setiap ada kesempatan, aku menjemputnya. Mengajaknya jalan-jalan, menonton, berbelanja, dan apa saja untuk menyenangkan hatinya. Ini kulakukan, karena yakin dia telah jadi milikku. Kekasihku. Tak jarang pada beberapa kesempatan, kami menyewa penginapan dan telah berkali berhubungan intim. Layaknya suami isteri.
Hingga satu waktu aku mendengar kabar, perempuan itu sebenarnya isteri simpanan. Suaminya perwira kapal pesiar mancanegara. Dalam setahun hanya dua kali berlabuh ke sini. Awalnya aku tak yakin, namun setelah mendengar dari banyak orang, aku mulai goyah. Apalagi setelah melihatnya sedemikian mesra berangkulan di satu pusat perbelanjaan.
Melihat dan mendapatkan kenyataan itu, darahku sontak mendidih, namun aku masih sanggup menahan emosi untuk tidak membuat keributan. Saat kutanyakan tentang kabar miring yang kudengar, ia pun mengaku tentang status dirinya. Seraya berupaya menahan amarah, karena ditipu dan merasa dipermainkan, aku sempat melontar ancaman pada mereka.
Rasa kecewa kulampiaskan ke tempat-tempat hiburan. Hampir setiap malam aku berada di bar atau diskotik. Entah berapa banyak pelacur yang telah kugauli. Nyaris setengah dari gajiku kufoyakan untuk itu. Menjelang pagi baru kembali. Hingga malam kejadian itu, aku baru pulang dari satu diskotik di luar kota. Mobil yang kukenderai memang kupacu kencang. Tiba-tiba saja dua orang yang sedang berangkulan menyeberang seenaknya. Kegugupan seketika kurasa.
Semuanya berlangsung cepat. Aku menabrak satu dari mereka, mobilku meluncur menabrak trotoar, dan terhempas dengan deras menghantam tiang traffic light. Sesudah itu aku tak ingat apa-apa. Dua hari kemudian aku tersadar telah di rumah sakit. Hampir sebulan aku menjalani perawatan. Di sanalah baru aku tau orang yang kutabrak itu tewas seketika di tempat. Ternyata pria malang itu adalah si perwira kapal pesiar yang beristeri gelap si perempuan yang kuceritakan tersebut. Sementara perempuan itu sendiri selamat.
***
“Demikianlah Bung Tigor. Dari kejadian itulah timbul tuduhan aku sengaja hendak membunuh dengan cara menabrak, karena merasa sakit hati. Ditambah lagi perihal ancaman yang pernah aku lontarkan.”
“Bah! Betul-betul tragis apa yang bung alami. Namun, inilah kehidupan. Segalanya bisa bersebab-akibat. Kita tidak bisa memastikan realita apa yang akan kita hadapi, jalani, dan terima. Aku sendiri telah lima tahun menjalani hidup di penjara ini. Sebagai ganjaran dari pembunuhan yang kulakukan terhadap seorang yang tak bertanggung jawab setelah menghamili adikku.
Terlepas dari salah tak bersalah, sengaja atau tak disengaja, kita sedang menanggung akibat dari sebuah sebab. Ini realita yang tengah kita jalani dan terima. Satu hal pasti, kita terkadang harus membayar mahal untuk sekeping harga diri, bahkan sepenggal kecewa sekalipun. Mari Bung Haris, saatnya kita makan siang. Perutku sudah minta diisi.
Sampali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar